Diberdayakan oleh Blogger.

instagram

Instagram

Label

Flag Counter

Total Tayangan Halaman

Translate

Sabtu, 13 Juni 2009

Kebebasan di Huta Tinggi


Gerimis sore mengguyur Huta Tinggi. Para pemeluk Malim yang disebut Parmalim tak beranjak pergi. Mereka bertahan dalam doa di halaman terbuka. Mereka mengatupkan kedua tangan menjadi satu, sedikit memejamkan mata, dan melakukan tortor sahadat, menari sambil berdoa.

Ritual itu merupakan pembukaan sipaha lima atau bulan kelima penanggalan Batak. Ritual yang berlangsung tiga hari ini merupakan ritual tahunan selain sipaha sada (bulan ketiga).

Ritual sipaha lima merupakan bentuk syukur Parmalim setelah berakhirnya masa panen tanaman padi. Selain berdoa, di ritual ini para Malim menyembelih kerbau sebagai sesembahan kepada Mula Jadi Nabolon (Tuhan yang Maha Besar). Saat itulah, semua pemeluk Parmalim bertemu di sebuah kampung kecil di Huta Tinggi, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara.

Sebagian orang menyebut Huta Tinggi merupakan kampung suci yang tersisa di Batak. Sebagian literatur Batak menulis Huta Tinggi sebagai Bakkara baru (Bakkara tempat istana Sisingamangaraja XII saat masih hidup). Di kampung itulah, para Malim menjalankan ritual dan adat istiadatnya.

Di bagian Desa Huta Tinggi, terdapat kampung yang tidak begitu luas. Hanya puluhan keluarga Parmalim bertempat tinggal. Namun, kampung ini menjadi ramai saat ritual sipaha lima atau sipaha sada tiba.

Minggu ketiga Juli lalu, sekitar 3.000 orang berkumpul di kampung ini. Kampung ini merupakan pusat ritual Ugamo Malim atau Agama Malim. Parmalim pada awalnya merupakan gerakan spiritual mempertahankan tradisi leluhur Batak. Gerakan yang dipelopori Guru Somalaing ini menolak kolonialisme Belanda yang dinilai mengancam rusaknya tatanan kehidupan masyarakat adat dan budayanya.

Ugamo Malim, seperti yang ditulis Sitor Situmorang dalam Toba Na Sae, menjadikan Sisingamangaraja XII sebagai tokoh sentral. Sisingamangaraja XII, tulis Sitor, sebagai Malim Pilihan Tuhan (Malim Ni Debata). Dalam kepercayaan Malim, Sisingamangaraja dinilai setara dengan nabi bangsa-bangsa lain.

Pemerhati budaya Batak, Thompson Hs, mengatakan, gerakan Parmalim mirip dengan gerakan sufi. Mereka tidak terpaku pada ”bungkus” agama yang kaku. Mereka menjalani ritual dengan caranya sendiri, cara orang Batak beribadah kepada Tuhan dan mempertahankan tradisi lokal.

”Memang seperti ada sinkretisme ritual agama lain, namun bukan itu yang utama bagi mereka. Kampung ini seperti menjadi benteng pertahanan budaya Batak dari pengaruh budaya lain,” katanya.

Saat sipaha lima, setiap Parmalim yang masuk kampung ini mesti mengenakan sarung, bersorban putih (bagi mereka yang sudah menikah), dan berselempang ulos. Kaum perempuan mengenakan kebaya dengan rambut yang digelung ke dalam. Tidak ada yang mengomando dan memerintah dalam menyiapkan acara. Mereka dengan kesadaran sendiri menyiapkan segala keperluan ritual.

Di zaman kolonial, Belanda menganggap gerakan Parmalim merupakan gerakan liar. Gerakan ini sama halnya dengan gerakan perlawanan politik yang membahayakan. Lantaran itu, Belanda berusaha memupus pengaruh Sisingamangaraja XII. Agar penerus Sisingamangaraja berhenti, Belanda memutus regenerasi pengaruh pahlawan nasional itu.

Belanda menghancurkan istana Sisingamangaraja XII di Bakkara, sekarang berada di Kabupaten Humbang Hasundutan. Gerakan Parmalim menguat. Sayangnya, perlawanan mereka harus dibayar mahal. Belanda menangkap pelopor gerakan Parmalim, Guru Somalaing, dan membawanya ke pengadilan pada 31 Januari 1896. Belanda menuding Guru Somalaing sebagai pengobar perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Dia bahkan dianggap lebih berbahaya dibandingkan Sisingamangaraja XII.

Setelah Belanda membuang Guru Somalaing, kepemimpinan gerakan Parmalim dipegang Raja Mulia Naipospos. Raja Mulia inilah yang kemudian menjadikan Huta Tinggi sebagai pusat pengembangan Parmalim berikutnya. Keturunan Raja Mulia, Monang Naipospos, mengatakan, pengembangan Parmalim di Huta Tinggi tidak lepas dari pesan Sisingamangaraja XII sebelum meninggal.

”Beliau berpesan agar pusat kegiatan Ugamo Malim kelak hingga kini ada di Huta Tinggi,” kata Monang. Pertimbangannya, Huta Tinggi tidak populer selama Sisingamangaraja XII hidup. Ini yang membuat Belanda tidak menduga dan mencurigai tempat ini menjadi pusat pengembangan Parmalim.

Belanda mencium juga denyut gerakan ini di Huta Tinggi. Meski tidak begitu ketat mengawasi, Belanda tetap memata-matai Parmalim di Huta Tinggi. Pemerintah kolonial baru mengizinkan pendirian Bale Pasogit, tempat peribadatan di Huta Tinggi, pada 1921. Izin ini pun keluar setelah Belanda memastikan tidak akan ada pengaruh besar yang mengancam pemerintah kolonial saat itu.

Pasca-kemerdekaan

Harapan baru muncul setelah Belanda meninggalkan jejak kolonialnya di Indonesia. Seiring dengan Kemerdekaan RI tahun 1945, kebebasan beribadah ternyata belum sepenuhnya dirasakan pemeluk Malim. Hingga kini mereka masih menerima stigma sebagai penganut aliran sesat, sempalan dari berbagai agama.

Kaum muda Malim paling merasakan dampaknya. Mereka kesulitan bekerja di lembaga formal. Persoalan identitas agama kerap mengganjal mereka di dunia kerja ataupun di saat mereka menempuh pendidikan formal.

”Saya terpaksa mengisi kolom agama dalam KTP (kartu tanda penduduk) menjadi salah satu penganut agama yang diakui pemerintah,” tutur Relita boru Manurung (26). Perempuan ini juga menemui kesulitan saat menempuh pendidikan. Semasa sekolah, pihak sekolah tidak pernah memberikan pilihan mengikuti ajaran Malim.

Belakangan, upaya sebagian masyarakat untuk memarjinalkan Parmalim terus terjadi. Pada 2006, sekelompok warga sempat melarang pendirian Bale Pasogit di Jalan Air Bersih, Medan. Pemerintah Kecamatan Medan Denai meminta pembangunan Bale Persaktian (tempat pertemuan) Parmalim dihentikan karena diprotes warga. Padahal, tempat peribadatan itu didirikan di atas tanah wakaf pemeluk Malim. Pemimpin Parmalim saat ini, Raja Marnakkok Naipospos, mengatakan, kebebasan umat beragama di Indonesia belum sepenuhnya tercipta. ”Kepercayaan ini lahir, berkembang, dan dipeluk masyarakat Indonesia sendiri. Tetapi, sampai sekarang belum ada pengakuan pemerintah,” kata Marnakkok.

Di Kampung Huta Tinggi, para Malim bisa menjalankan kepercayaannya dengan leluasa. Hanya di tempat itukah kebebasan bisa mereka dapatkan?

HAMALIMON BATAK

Hubungan dengan Mulajadi Nabolon disebut “Ugamo” inti ajaran dalam menjalankan hubungan itu disebut “Hamalimon”.

Pengertian “Malim” ada dua bagian: “Malim” sebagai sifat dasar yang dituju, berawal dari “Haiason” dan “Parsolamon”. Yang kedua adalah “Malim” sebagai sosok pribadi.

Haiasaon diartikan kebersihan. Kebersihan fisik dan rohani. Parsolamon diartikan membatasi diri dari menikmati dan bertindak.

Ada beberapa pribadi leluhur di tanah batak yang dianggap sebagai Malim, yakni Raja Uti, Simarimbulubosi dan Sisingamangaraja.

Mereka menganjurkan panyampaian persembahan kepada Mulajadi Nabolon yang disebut Pelean Debata “na ias jala malim” bersih dan suci. Pelaksanaannya diawali dari pribadi (keluarga) seperti penyampaian “patumona ni naniula” kegiatan se kampung yang merupakan klan dalam satu parsantian.

Biasanya kumpulan satu rumpun keluarga semarga termasuk boru dan paisolat (pendatang).

Persembahan suci sebagai ucapan syukur kepada Mulajadi Nabolon dilakukan pada Upacara Bius dengan persembahan kerbau yang disebut Horbo Santi atau Horbo Bius.

Horbo Santi, seekor kerbau (sitingko tanduk siopat pusoran) pilihan bertanduk bulat dan empat pusar. Kerbau ini dipelihara berbulan-bulan sebelum dipersembahkan. Kerbau ini bila masuk kehalaman orang, dianggap anugerah, bila masuk ke kebun tidak didenda.


HARAJAON BATAK

Raja Uti dikenal menerima amanah mengajarkan Hamalimon dan pola penyembahan terhadap Mulajadi Nabolon. Beliau juga menerima amanat “Harajaon” pertama sekali di tanah Batak walaupun tidak dilakukan secara terlembaga. Raja Uti dianugerahi Mulajadi Nabolon “Mula ni Harajaon na marsuhi ni ampang naopat”.

Suhi ni ampang naopat menjadi dasar konsep kelembagaan masyarakat, harajaon dan paradaton. Harajaon Bius yang kemudian dikembangkan Sisingamangaraja selalu mengacu kepada empat orang Raja utama. Mereka disebut Pargomgom, Pangumei, Partahi dan Namora. Keempat Raja ini dilengkapi perangkat tambahan yang penyebutannya berbeda di masing-masing bius, seperti parmaksi, partingting, nabegu dll. Untuk menghindari adanya kasta diantara mereka sering juga disebut Raja Naualu. Keempat Raja tadi lajim juga disebut Raja Naopat atau Raja Maropat. Raja Bius juga disebut Raja Parbaringin. Konsep ini sudah lama di tanah Batak sebelum mengenal raja Merampat di Aceh, karena kebetulan saja sama. Sering peneliti menyatakan Sisingamangaraja meniru konsep ini dari Aceh.

Sisingamangaraja menerima wejangan dari Raja Uti untuk pelaksanaan amanah “maningahon” harajaon, patik, uhum, hamalimon. Harajaon “na marsuhi ni ampang naopat” tetap menjadi landasan pelaksanaannya.

Otonomi dinikmati masyarakat. Beliau tidak menjadi raja untuk kekuasaan sentral. Demokrasi Batak dibangun dan dipelihara. Tujuan ketakwaan kepada Mulajadi Nabolon dipenuhi, hormat kepada pemimpin masyarakat (pantun marraja) dan sayang terhadap sesama manusia.

Bius dibenahi menjadi Dewan Pertimbangan Kebijaksanaan yang dilakukan oleh Huta. Bius diwajibkan memenuhi syarat memiliki “onan” untuk bursa ekonomi rakyat dan berfungsi ganda meliputi pelayanan kesehatan dan pelayanan pertimbangan hukum. Di onan juga disediakan area “partungkoan” para pemimpin “raja-raja” bius, huta dan perangkatnya.

Onan adalah pekan atau pasar. Onan dibentuk sebagai persyaratan ini menjadi bius. Ada hukum di onan yang disebut, osos hau tanggurung tongka masipaurakan. Bila terjadi persenggolan tidak boleh bersengketa. Onan dijaga oleh seorang pendekar partigabolit menjamin keamanan. Di Onan dilakukan mediasi permasalahan hukum oleh para Raja Bius dan juga Pusat Pelayanan Kesehatan Masyarakat oleh Sibaso dan Tiang Aras.

Bius juga melakukan “Pardebataon” minimal sekali dalam satu tahun yakni peyampaian persembahan kepada Mulajadi Nabolon atas limpahan rejeki hasil panen yang diberikan.

Agamanya (Ugamo?) ada pada tatanan keteraturan, kedamaian dan ketakwaan kepada Mulajadi Nabolon dengan mempedomani syarat Hamalimon. Sistem ini yang kemudian dikenal dengan Harajaon Malim.


MASA KRISIS

Sisingamangaraja XI sudah melihat adanya ancaman kemerosotan kepercayaan yang tumbuh sejak lama di tanah Batak. Dampak dari serangan padri sangat terasa dalam perubahan moral dan perekonomian. Tatanam kemasyarakatan, adat, patik, uhum, harajaon, dan hamalimon terancam punah.

Pada era Sisingamangaraja XII pergolakan di Tanah Batak semakin keruh, pembangkangan semakin banyak, keberpihakan kepada penjajah dan misi baru semakin deras. Dulunya para Raja Bius Parbaringin yang sangat mendukung Raja Sisingamangaraja XII menentang penjajahan mulai merosot. Diantara kerabat para raja tradisional itu ada yang diangkat kolonial menjadi raja versi mereka. Para raja angkatan penjajah ini melakukan pendekatan dan penekanan kepada para Raja Parbaringin dan para pejuang pro Sisingamangaraja XII untuk melenturkan peranannya.

Pada suatu ketika, Raja Sisingamangaraja XII membuat maklumat bahwa beliau sakit. Para Raja Bius menjadi pesimis, tidak seorangpun menjenguk beliau. Pada saat itu Raja Mulia Naipospos Raja Parbaringin dari Bius Laguboti berangkat menuju Bakkara. Ternyata Raja Sisingamangaraja XII sehat walafiat. Kepada Raja Mulia dipaparkan ancaman yang akan datang dan semakin lemahnya dukungan perjuangan menentang penjajahan.

Hamalimon dalam Habatahon itu akan pupus bila dibiarkan tanpa pertahanan. Sisingamangaraja XII menyusun strategi lebih tegas dalam bentuk aksi. Raja Mulia memegang teguh peranannya untuk tidak muncul sebagai sosok perlawanan anti kolonial, sehingga lebih didekatkan kepada Missionaris Nommensen di Sigumpar. Ini merupakan pengkaderan secara terselubung agar tidak segera dipatahkan oleh gerakan misi kristen dan penjajah.

Guru Somalaing Pardede melakukan aksi pengorganisasian hamalimon. Sisingamangaraja XII sebelumnya lebih mempercayainya sebagai penasehat perang.

Ajaran Guru Somalaing makin mengkristal. Sebelumnya Raja Sisingamangaraja XII sudah mengetahui ajarannya ada dipengaruhi kepercayaan Romawi oleh Modigliano dengan penambahan tokoh spiritual Patuan Raja Rum, dan tidak mendapat restu. Gerakan spontan ini mengakibatkan beliau ditangkap dan dibuang.

Setelah Raja Sisingamangaraja XII diumumkan gugur 17 Juni 1907 dalam perjuangan melawan penjajah, tanah batak berduka, ada yang pesimis dan ada yang optimis. Yang pesimis mengikuti jejak penjajah, dan yang optimis tetap melakukan perjuangan mempertahankan hak dan kebebasan.