Diberdayakan oleh Blogger.

instagram

Instagram

Label

Flag Counter

Total Tayangan Halaman

Translate

Jumat, 01 Agustus 2008

Pengingkaran Marga, Sebuah Tragedi Kepribadian Mirip Kasus Si Malin Kundang

Bagi orang Batak, marga adalah warisan yang bernilai sangat tinggi. Marga ibarat sebuah mahkota bagi seorang Batak (dalam tulisan singkat ini yang dibicarakan adalah Batak Toba), yang diwariskan leluhur secara alamiah (dengan sendirinya). Begitu seorang bayi Batak lahir, dia sudah langsung menyandang marga ayahnya, menurut sistem patrilineal yang dianut orang Batak. Dan itu sah, tidak akan ada suatu kekuatan apapun yang dapat mengingkarinya. Jika yang lahir adalah bayi laki-laki, maka dia menyandang marga ayahnya sebagai penerus marga ke generasi berikutnya.Dan kalau yang lahir bayi perempuan, dia juga akan menyandang marga ayahnya, meskipun (karena dia boru) marga itu tidak lagi berkelanjutan karena Batak tidak menganut sistem garis keibuan (matrilineal).

Ketika seorang boru Batak kawin dengan marga lain, status yang disandangnya menurut sistem Dalihan Natolu, adalah sebagai “boru” dan marga suaminya otomatis menjadi hula-hula. Makanya istilah ” na maranak marboru” di lingkungan Batak Toba, sangat strategis, tergantung konteks adat keseharian. Hari ini bisa dalam posisi boru, tapi lain waktu posisinya menjadi hula-hula atau dongan tubu. Bila yang melaksanakan hajatan adat adalah pihak marga saudara laki-laki, tentu posisi keluarga saudara perempuan adalah boru, dan pihak saudara laki-laki sebagai hula-hula. Hal itu suatu aturan yang absolut dalam frame (bingkai) Dalihan Natolu.

Karena itu, sekalipun seorang anak perempuan tidak mewariskan marganya pada keturunannya (karena Batak tidak menganut garis keibuan), bukan berarti marga itu tidak berarti. Karena dari marga seorang ibu lah yang kemudian menentukan adanya Bona ni ari, bona hula, bona tulang, atau tulang. Dan ketika satu saat seorang ibu/isteri meninggal dunia, pihak hula-hula itulah (sebagai yang empunya boru) yang berhak menyampaikan saput. Begitu pula ketika seorang ibu/isteri itu yang mabalu (menjanda) ditinggal suami yang meninggal, pihak hula-hula itu yang berhak mengenakan tujung baginya.

Dari uraian sederhana itu, jelas sekali makna strategis marga bagi perempuan Batak. Bahkan dalam pergaulan sehari-hari, ketika dua orang pria Batak saling berkenalan, yang pertama sekali ditanya bukanlah apa pekerjaan atau dimana rumah, melainkan marga apa.Kemudian dalam konteks lebih detil, muncul pertanyaan yang biasa terdengar :” Ai boru aha ma dialap hamu” (boru apa orang rumah). Dari penyebutan marga orang rumah, dapat diketahui posisi menurut tarombo (silsilah Batak). Bila ternyata sama dengan marga si penanya, tentu si penanya berstatus hula-hula. Atau kadang bisa ditarik lagi dalam lingkup yang lebih luas, misalnya dari kesatuan marga tertentu.Apakah misalnya persamaan dari Si Raja Lontung, Si Bagot Ni Pohan, Parna, Oppu Tuan Somanimbil, Tuan Sihubil, dan sebagainya.

PENGINGKARAN MARGA

Dengan demikian, sangatlah mengejutkan dan mengherankan, tatkala suatu ketika kita mendengar ada seorang boru Batak tiba-tiba mengingkari marga aslinya menjadi marga yang lain. Tentu timbul pertanyaan, fenomena apakah itu gerangan? Apakah sekadar hanya kekeliruan, atau ketidakpahaman tentang makna marga, ataukah kesengajaan bermotif tertentu, ataukah ada factor penyebab lain yang dirahasiakan?

Contoh kasus, sebutlah demikian: Ada seorang ibu melahirkan bayi perempuan di satu tempat. Karena suaminya bermarga S, tentu otomatis sang bayi itu menyandang marga suami ibunya yang notabene adalah ayahnya. Dalam hal ini kita tidak berniat melontarkan suatu penyelidikan kritis bernuansa tanda tanya karena kita tidak ingin terperangkap melanggar kode etik. Lalu, pendek cerita tatkala umur sang bayi masih 4 hari, sang ayah meninggal dunia.Sebuah kenyataan pahit memang, tapi sering menimpa banyak bayi lain di dunia ini. Saat baru menghirup udara kehidupan, tak sempat mengenal sang ayah. Itu memang terasa pedih. Kisah sedih itu kemudian berganti warna. Menjelang usia si bayi menapak tahun ke 3, sang ibu menikah dengan lelaki marga lain, katakanlah marga P. Sejak saaat itu, otomatis si bayi boru S tadi dibesarkan dalam keluarga yang dipimpin marga P (istilah Batak “dipagodang-godang”). Apakah sejak saat itu, dalam kepribadian si anak sudah melekat kedekatan pada marga ayah tirinya, ataukah ada factor lain yang dirahasiakan, kurang jelas diketahui. Tapi diketahui kemudian, bahwa dalam proses keadministrasian si anak tidak ada tercantum penggunaan marga aslinya (S), hanya dicantumkan nama semata,apakah itu dalam surat baptis, surat sidi, atau ijajah-ijajah. Tapi kenapa? Tentu hanya orangtuanya yang tahu. Apakah itu bagian dari sebuah program tersendiri, kita juga kurang tahu.

Alkisah, si anak perempuan pun beranjak dewasa, sampai kemudian kawin dengan seorang pria yang kini menyandang posisi pemimpin masyarakat berskala kecil di satu desa di Kecamatan Sipoholon. Menyangkut proses adat keseharian berikutnya, termasuk mensyukuri kelahiran anak-anak dari perkawinan boru S tadi, pihak kerabat atau famili dekat seperti amanguda/inang uda atau tulangnya marga P, selalu terlibat. Itu pertanda bahwa si ibu benar-benar adalah boru S. Banyak saksi dari keluarga dekat yang masih hidup, dan siap memberi kesaksian untuk kebenaran soal marga itu.

Lalu masalah (ataukah ini bernama kemurtadan), muncul,tatkala ibu berstatus pendidik ini mau “mangadati” sesuai tuntutan adat Batak. Awalnya muncul rumor mengatakan, bahwa si ibu muda tidak bersedia memakai marganya semula (boru Simanjuntak) melainkan boru P. Tentu kalangan keluarga dari almarhum ayahnya maupun pihak keluarga dari ibunya marga Pardede, tercengang, tak habis pikir. Kenapa dia bersikap seperti itu? Apakah karena dia sejak kecil dalam ruang lingkup ayah tirinya marga P, menjadi alasan bahwa dia bukan lagi boru S melainkan boru P? Sebegitu gampangnya kah mengingkari dan merobah marga? Sebegitu rendahnya kah keperibadiannya sebagai boru Batak untuk menghapus sejarah yang melekat pada dirinya? Seribu satu pertanyaan pun muncul.

Lobbi atau pendekatan demi pendekatan sudah acap dilakukan pihak keluarga dekat dari ayah kandung ibu muda yang mengingkari marganya ini. Termasuk ke kalangan marga ayah tirinya. Tapi jawaban yang diterima, bersandar pada sikap “paku mati” dari yang bersangkutan, yang terus ngotot menyatakan dirinya bukan boru S tapi boru P. Sampai dekat hari H pesta adat mereka, jawaban tetap itu juga. Sudah paku mati, bahwa dia adalah boru P,bukan boru S.

Adalah M.Simanjuntak, amanguda kandung (adik ayah) pengingkar marganya itu, yang kesal amat menerima kenyataan pahit itu.” Banyak saksi hidup termasuk saya, bahwa dia adalah anak kandung dari abang saya. Kalau dia sekarang tidak lagi mengakuinya, yah biarlah dia yang menanggung dosa ingkarnya itu, tapi kalau kami tetap menganggapnya sebagai anak abang kami yang sudah meninggal”,ujar M.Simanjuntak menegaskan, seraya menguraikan silsilah mereka luar kepala.
Maka, apapun ceritanya, yang pasti pesta adat itu sudah berlangsung. Dan ibu muda boru S itu benar-benar diadati sebagai boru P, di sebuah desa tanggal 9 Juni yang lalu.

Tragiskah namanya, atau aneh, atau harus disebut luar biasa. Barangkali sebutan terakhir itu yang paling pantas mengomentari kasus ini. Sebuah studi kasus barangkali buat mereka yang dipercayakan mengemban masalah adat di Lembaga Adat Dalihan Natolu. Andaikata si ibu ingkar itu adalah boru sileban (istilah buat wanita dari suku diluar Batak), tentu masalahnya lain,ujar seorang tetua adat mengamati perkembangan kejadian itu. Sebab seorang wanita sileban bisa saja “diappu” (ditabalkan) bermarga tertentu, tanpa serumit penabalan seorang pria. Tetapi kalau seorang wanita Batak yang jelas bermarga lalu mengingkarinya serta beralih ke marga lain, itu sudah luar biasa, dan belum pernah terjadi dalam sejarah Batak.” Pengingkaran marga itu sama artinya pengingkaran terhadap keabsahan orangtua kandung, dan pengingkaran tentang keabsahan itu identik dengan kedurhakaan seperti yang terjadi pada hikayat Minangkabau Si Malin Kundang, atau dalam versi Batak Si Mardan na Mansoadahon Inana”, kata orangtua itu menganalisis.

Tetapi dalam konteks hikayat klasik Malin Kundang maupun Si Mardan, versinya beda. Si Malin misalnya (menurut versi cerita Minang), tega meniadakan ibu kandungnya hanya karena perasaan malu kalau dia punya ibu yang miskin di kampung. Malin adalah pria ambisius yang mau mengubur jati diri aslinya demi prestise dan demi cita-citanya menjadi orang terpandang. Akhir kisahnya tragis, dia dikutuk menjadi batu. Demikian halnya Si Mardan dalam legende Tapanuli. Kedua kisah itu memfokuskan figur ibu sebagai tokoh sentral yang menjadi korban kedurhakaan.

Sebaliknya dalam kasus wanita boru S yang berubah menjadi boru P tadi, justru dengan ibunya baik-baik saja. Yang diingkari bukan keberadaan ibu, melainkan keabsahan marga aslinya. Dan pengingkaran marga asli yang turun dari ayah, barangkali bisa dikonotasikan pengingkaran terhadap “keabsahan” sang ayah. Apakah ini bukan termasuk paradigma baru dari kisah kedurhakaan seperti Malin Kundang? Pertanyaan ini dapat dijawab siapapun juga menurut tafsir atau persepsi masing-masing. Ataukah ini boleh disebut ” sebuah tragedy kepribadian mirip Si Malin Kundang atau Si Mardan? Terserah.

Sumber : (SODRAN OEL, pengamat sosial dan masalah-masalah adat) [1] Bona Pasogit


0 komentar: