Diberdayakan oleh Blogger.

instagram

Instagram

Label

Flag Counter

Total Tayangan Halaman

Translate

Jumat, 01 Agustus 2008

Proses Pembuatan Ulos di Toba

Pembuatan benang.

Proses pemintalan kapas sudah dikenal masyarakat batak dulu yang disebut “mamipis” dengan alat yang dinamai “sorha”. Sebelumnya hapas “dibebe” untuk mengembangkan dalam mempermudah pemintal membentuk keseragaman ukuran. Seorang memintal dan seorang memutar sorha. Kemudian sorha ini disederhanakan dengan mengadopsi teknologi yang dibawa oleh Jepang semasa penjajahan. Sorha yang lebih modern dapat melakukan pemintalan dengan tenaga satu orang.

Pewarnaan.

Ulos adalah sehelai kain tenunan yang dirangkai menggunakan motif khusus yang disebut “gatip”
Ulos itu terbuat dari benang, benang dipintal dari kapas. Benang awalnya berwarna putih, dan untuk mendapatkan warna merah disebut “manubar” dan untuk mendapatkan warna hitam disebut “mansop”.
Bahan pewarna ulos terbuat dari bahan daundaunan berbagai jenis yang dipermentasi sehingga menjadi warna yang dikehendaki. Bahan tambahan pewarnaan dari proses permwntasi ini disebut “Itom” yang pada era tahun 60 an masih ada ditemukan dipasaran toba.
Orang yang melakukan pewarnaan benang ini disebut “parsigira”

Gatip.

Rangkaian grafis yang ditemukan dalam ulos diciptakan pada saat benang diuntai dengan ukuran standard. Untaian ini disebut “humpalan”. Satuan jumlah penggunaan benang untuk bahan tenun disebut “sanghumpal, dua humpal” dst. Gatip dibuat sebelum pewarnaan dilakukan. Benang yang dikehendaki tetap berwarna putih, diikat dengan bahan pengikat terdiri dari serat atau daun serai.

Unggas.

Uanggas adalah proses pencerahan benang. Pada umumnya benang yang selesai ditubar atau disop, warnanya agak kusam. Benang ini diunggas untuk lebih memberikan kesan lebih cemerlang. Orang yang melakukan pekerjaan ini disebut “pangunggas” dengan peralatan “pangunggasan”.
Benang dilumuri dengan nasi yang dilumerkan kemudian digosok dengan kuas bulat dari ijuk. Nasi yang dilumerkan itu biasanta disebut “indahan ni bonang”.
Benang yang sudah diunggas sifatnya agak kenyal dan semakin terurai setelah dijemur dibawah sinar matahari terik.

Ani

Benang yang sudah selesai diunggas selanjutnya memasuki proses penguntaian yang disebut “mangani”. Namun untuk mempermudah mangani, benang sebelumnya “dihuhul” digulung dalam bentuk bola. Alat yang dibutuhkan adalah “anian” yang terditi dari sepotong balok kayu yang diatasnya ditancapkan tongkat pendek sesuai ukuran ulos yang dikehendaki. Dalam proses ini, kepiawaian pangani sangat menentukan keindahan ulos sesuai ukuran dan perhitungan jumlah untaian benang menurut komposisi warna.

Tonun

Tonun (tenun) adalah proses pembentukan benang yang sudah “diani” menjadi sehelai ulos. Mereka ini yang lajim disebut “partonun”.

Sirat

Proses terakhir menjadikan ulos yang utuh adalah “manirat”. Orang yang melakukan pekerjaan ini disebut “panirat”. Sirat adalah hiasan pengikat rambu ulos. Biasanya dibentuk dengan motif gorga.

Tautan:


Marga Simbolon adalah anak tertua dari si Raja Naiambaton yang lazim disebut "PARNA"
Anak-anaknya meneruskan nama kakeknya Simbolon, tapi ada juga yang memakai nama atau marga yang lain seperti : Tinambunan, Tumanggor, Turutan, Pinayungan, Maha, Nahampun.

Saat ini PENGURUS Punguan Simbolon & Boruna Jabotabek sedang menyusun Tarombo yang lebih komprehensif agar dimengerti oleh Generasi muda dimasa yang akan datang.
Untuk itu dihimbau bagi semua anggota Punguan Pomparan Raja Ompu Bolon Simbolon (PABOLON)dimanapun berada, diminta ikut berpartisipasi memberikan tarombo masing-masing ompu atau sohe ke Sekretariat PABOLON, Jl. Remaja No.20 Kel. Jati, Rawamangun, Jakarta Timur 13220 Telp./Fax. 021-4720522, e-mail:pabolon@email.com atau dengan mengisi "FORMULIR" Anggota.
Berikut ini sekilas tarombo marga Simbolon :

INDUK MARGA BATAK & CABANG-CABANGNYA


Siraja Batak punya dua anak:
I. Guru Tatea Bulan
II. Si Raja Isumbaon

Anak dari Guru Tatea Bulan : I.1 Saribu Raja
I.2. Limbong Mulana
I.3. Sagala Raja
I.4. Malau Raja

I.1 SARIBU RAJA:

I.1.1. Si Raja Lontung (Lontung Sisia sada Ina)
I.1.1.1. Toga Sinaga (Bonor, Ompu Ratus, Uruk)
2. Toga Situmorang (Pande, Lumban Nahor, Suhut ni Huta, Siringoringo, Rumapea, Sitohang)
3. Toga Pandiangan ( Pandiangan, Samosir, Gultom, Harianja, Pakpahan, Sitinjak)
4. Toga Nainggolan : a. Toga sibatu (Sibatuara, Parhusip)
b. Toga Sihombar (Lbn. Nahor, Lbn. Tungkup, Lbn. Raja, Lbn. Siantar, Hutabalian)
5. Toga Simatupang (Togatorop, Sianturi, siburian)
6. Toga Siregar (Silo, Dongoran, Silali/Ritonga/sormin, Siagian)
7. Toga Aritonang (Ompu Sunggu, Rajagukguk, Simaremare)

I. 1. 2. Si Raja Borbor :
(Pasaribu, Harahap, Parapat, Matondang, Sipahutar, Tarihoran, Saruksuk, Lubis, Batubara,
Pulungan,Hutasuhut, Daulay).

I. 2. LIMBONG : - Palu Onggang
- Langgat Limbong

I.3. SAGALA
(Hutaruar, Hutabagas, Hutaurat)

I.4. MALAU RAJA
(Pase, Nilambean, Manik&Damanik, Ambarita, Gurning)

Anak Dari Si Raja Isumbaon : II. 1. Tuan Sorimangaraja
II. 2. Si Raja Asiasi
II. 3. Sangkar Somalidang

II.1.1. Naimbataon atau PARNA (Parsadaan Raja Nai Ambaton)
II.1.1.1. Simbolon Tua (Simbolon, Tinambunan, Tumanggor, Turutan, Pinayungan, Maha, Nahampun)
2. Tamba Tua (Tamba, Sidabutar, Sidabalok, Siadari, Sijabat)
3. Munte Tua (Munte, Sitanggang, Sigalingging)
4. Saragi Tua (Saing, Simalango, Simarmata, Nadeak, Sidabungke, Rumahorbo, Sitio, Napitu)

II.1.2. NAIRASAON
II.1.2.1. Manurung
2. Sitorus
3. Sirait
4. Butarbutar

II.1.2.3. NAISUANON : * Tuan Sorba Dibanua
* Raja Tunggul
A. Tuan Sorba Dibanua
1. Sibagot Nipohan : a. Tuan Sihubil (Tampubolon)
b. Tuan Dibangarna (Panjaitan, Silitonga, Siagian, Sianipar)
c. Tuan Somanimbil (Siahaan, Simanjuntak, Hutagaol)
d. Sonak Malela (Simangunsong, Marpaung, Napitupulu, Pardede)
2. Sipaet Tua (Hutahaean, Aruan, Hutajulu, Sibarani, Sibuea, Pangaribuan, Hutapea)
3. Silahi Sabungan (Silalahi, Sihaloho, Situngkir, Sondi, Sinabutar, Sinabariba, Sinabang, Pintubatu,
Tambun, Tambunan)
4. Si Raja Oloan (Naibaho, Sihotang, Bakkara, Sinambela, Sihite, Manullang)

B. Raja Tunggul
1. Si Raja Sobu (Sitompul, Hasibuan, Hutabarat, Panggabean, Simorangkir, Hutagalung, Hutapea/Tobing)
2. Siraja Sumba : a. Sihombing (Silaban, Lumban Toruan, Nababan, Hutasoit)
b. Simamora (Purba, Manalu, Debataraja, Tuan Sumerhan)
3. Siraja Naipospos (Marbun: Lbn.Batu, Banjar Nahor, Lbn. Gaol, Sibagariang, Hutauruk,
Simanungkalit, Situmeang)

DAFTAR MARGA-MARGA ORANG BATAK & NIAS

Ajartambun Harefa Meha Saragi Sinurat
Akarbejadi Harianja Meliala Saragih Sinuraya
Ambarita Haro Mendrofa Saributua Sinusinga
Angkat Hasibuan Mismis Saruksuk Sipahutar
Aritonang Hasugian Muham Sarumpaet Sipanggang
Aruan Hulu Munthe Selangit Sipangkar
Babiat Hutabagas Nababan Sembiring Sipayung
Babo Hutabalian Nadapdap Seribu Sirait
Baeha Hutabangun Nadeak Siadari Sirandos
Bako Hutabarat Nahampun Siagian Siregar
Bahorok Hutagalung Nahulae Siahaan Siringkiron
Bakara Hutagaol Naibaho Siallagan Siringoringo
Banjarnahor Hutahaean Naiborhu Siambaton Sitanggang
Banjarkasi Hutajulu Nainggolan Siampapaga Sitepu
Bangkiang Hutapea Naipospos Sianipar Sitindaon
Bangun Hutasoit Nalu Sianturi Sitinjak
Bansin Hutasuhut Namasuro Sibabiat Sitio
Banuarea Hutaurat Namohaji Sibagariang Togatorop
Baringbing Hutauruk Napitu Sibangebange Sitohang
Baruara Jadibata Napitupulu Sibarani Sitompul
Barus Jambe Nasution Sibayang Sitorus
Basilan Jampang Ndruru Sibero Situa
Basirun Jawak Ompusunggu Siboro Situmeang
Batuara Jung Ongkor Siburian Situmorang
Batubara Jurung Padang Sibuaton Situngkir
Bawo Kabak Pakpahan Sibuea Solia
Benjerang Kaban Pandebayang Sidabalok Solin
Beringin Kacaribu Pandia Sidabutar Sormin
Berampu Kacinambun Pandiangan Sidabungke Sugihen
Berasa Karokaro Pane Sidahapintu Sukatendal
Berutu Kasilan Pangaribuan Sidari Surbakti
Binjori Keliat Panggabean Sidauruk Tamba
Bintang Keling Panjaitan Sidebang Tambak
Biru Keloko Parapat Sigalingging Tambunan
Boang_Manalu Kembaren Parbesi Sigiro Tampubolon
Bolahan Kemit Pardede Sihaloho Takar
Boliala Ketaren Pardosi Sihite Tanjung
Bondar Kian Parhusip Sihombing Tarigan
Bondong Kombara Parinduri Sihole Tarihoran
Brahmana Kudadiri Parmentin Sihotang Tegur
Bukit Laksa Pasaribu Sijabat Tekang
Bunuhaji Lambe Pase Silaban Telaumbanua
Butarbutar Lambosa Pasi Silaen Telun
Bu'ulolo Larosa Pelawi Silalahi Tendang
Capah Lase Pekan Silali Tinambunan
Cambo Lausan Pencawan Silitonga Tinendung
Cibero Lembong Penggarun Silo Torong
Colia Limbong Peranginangin Simaebang Tumangger
Daeli Lingga Perbesi Simalango Tumanggor
Dalimunthe Lubis Pinayungan Simamora Turnip
Damanik Lumbanbatu Pinem Simandalahi Turutan
Daparik Lumbangaol Pintubatu Simangunsong Ujung
Debataraja Lumbannahor Pohan Simanjorang Ulunjadi
Depari Lumbanpea Porti Simanjuntak Uwir
Daransi Lumbanraja Pulungan Simanungkalit Wuruwu
Dasopang Lumbansiantar Purba Simaremare Zai
Daulay Lumban_Tobing Pusuk Simargolang Zebua
Doloksaribu Lumbantoruan Rajagukguk Simarmata Zega
Dongoran Lumbantungkup Rambe Simarsoit Zendrato
Gaja Maha Ramu Simatupang
Ganagana Maharaja Rangkuti Simbolon
Garamata Malau Rea Simorangkir
Gea Maliam Ritonga Sinabariba
Gerneng Manalu Rumahorbo Sinabalok
Gersang Manihuruk Rumapea Sinabutar
Ginting Manik Rumasingap Sinaga
Girsang Mano Rumasondi Sinambela
Gorat Manullang Sabab Sinamo
Gulo Manurung Sagala Singarimbun
Gultom Marbun Saing Sinubulan
Gurning Marpaung Sambo Sinuhaji
Gurupatih Martumpu Samosir Sinulaki
Gurusinga Masaro Samusra Sinulingga
Habeahan Matanari Sapa Sinukaban
Halihi Matondang Sapiam Sinukapar
Harahap Matung Saraan Sinupayung

Pengingkaran Marga, Sebuah Tragedi Kepribadian Mirip Kasus Si Malin Kundang

Bagi orang Batak, marga adalah warisan yang bernilai sangat tinggi. Marga ibarat sebuah mahkota bagi seorang Batak (dalam tulisan singkat ini yang dibicarakan adalah Batak Toba), yang diwariskan leluhur secara alamiah (dengan sendirinya). Begitu seorang bayi Batak lahir, dia sudah langsung menyandang marga ayahnya, menurut sistem patrilineal yang dianut orang Batak. Dan itu sah, tidak akan ada suatu kekuatan apapun yang dapat mengingkarinya. Jika yang lahir adalah bayi laki-laki, maka dia menyandang marga ayahnya sebagai penerus marga ke generasi berikutnya.Dan kalau yang lahir bayi perempuan, dia juga akan menyandang marga ayahnya, meskipun (karena dia boru) marga itu tidak lagi berkelanjutan karena Batak tidak menganut sistem garis keibuan (matrilineal).

Ketika seorang boru Batak kawin dengan marga lain, status yang disandangnya menurut sistem Dalihan Natolu, adalah sebagai “boru” dan marga suaminya otomatis menjadi hula-hula. Makanya istilah ” na maranak marboru” di lingkungan Batak Toba, sangat strategis, tergantung konteks adat keseharian. Hari ini bisa dalam posisi boru, tapi lain waktu posisinya menjadi hula-hula atau dongan tubu. Bila yang melaksanakan hajatan adat adalah pihak marga saudara laki-laki, tentu posisi keluarga saudara perempuan adalah boru, dan pihak saudara laki-laki sebagai hula-hula. Hal itu suatu aturan yang absolut dalam frame (bingkai) Dalihan Natolu.

SEJARAH RAJA SIGALINGGING

SEJARAH RAJA SIGALINGGING

SEJARAH RAJA SIGALINGGING (sumber : ucok sigalingging)
Raja Batak mempunyai 2 (dua) orang anak yaitu :
  1. Raja Lontung
  2. Raja Sumba
Sementara Raja Sumba mempunyai 3 (tiga) orang anak :
  1. Raja Nabolon (Nai Ambaton)
  2. Raja Mangarerak (Nai Rasaon)
  3. Raja Tuan Sorba Dibanua (Nai Suanon)
Anak Raja Nai Ambaton ada 4 (empat) orang :
  1. Simbolon Tua
  2. Munthe Tua
  3. Tamba Tua
  4. Saragi Tua
Munthe Tua mempunyai 2 (dua ) orang anak yaitu :
  1. Op. Tanjabau bergelar Raja Pangururan
  2. Op. Tongging bergelar Raja Munthe.
Op. Tanjabau mempunyai 2 (dua) orang anak :
  1. Sitanggang
  2. Sigalingging
Anak Raja Sigalingging ada 3 :
  1. Guru Mangarissan dengan gelar Sigorak
  2. Raja Tinatea dengan gelar Sitambolang
  3. Namora Pangujian dengan gelar Parhaliang
Sejarah Guru Mangarissan dan Raja Tinatea

Putra Sulung Raja Sigalingging yaitu Guru Mangarissan mengerjakan dan mengusahakan semua hauma ( hauma = sawah – bhs Batak Toba ) yang berada di sekitar Huta Sigalingging ( Huta = Kampung , pada jaman dahulu huta dikelilingi oleh benteng besar yang bertujuan untuk menghindari serangan musuh dari kampung lain ataupun binatang buas ). Guru Mangarissan adalah petani ulung dan pekerja keras, sementara itu adiknya Raja Tinatea adalah nelayan atau “par Tao”, di tepian Danau Toba. Ikan hasil tangkapannya dijual ke Onan Pangururan. Pada jaman dahulu sistem perdagangan sudah mengenal sistem barter, di mana sesama petani maupun nelayan saling menukarkan hasil usahanya masing-masing sesuai dengan kesepakatan yang dibuat.

Pada suatu ketika Raja Sigalingging mengalami jatuh sakit, Guru Mangarissan memberitahu adiknya Raja Tinatea agar bersama-sama memberikan “Sipanganon” (makanan khusus yang ditujukan kepada orang yang sangat dihormati) kepada ayah mereka Raja Sigalingging. Guru Mangarissan sebagai putra sulung sangat menghormati orang tuanya. Oleh karena itu beras yang akan ditanak untuk dihidangkan kepada Raja Sigalingging harus dipilih tidak boleh ada beras yang patah atau pecah. Demikian hormatnya Guru Mangarissan kepada ayah mereka, nasi yang dihasilkan merupakan “Indahan Na Bottar “ ( Nasi putih ) yang berasal dari beras utuh.

Raja Tinatea juga membawa “Indahan” (Nasi), hasil dari keringatnya “Mardoton” ( mencari ikan ), dan nasi yang dibawanya tidak “saksak bottar” ( putih bersih ) , tetapi beras campuran yaitu beras merah dan beras biasa. Secara spontan Guru Mangarissan membentak adiknya dan berkata : “ inilah saatnya adat yang penting untuk memberi orang tua kita ‘marsipanganon’ tetapi kau hidangkan “indahan na mar bolang-bolang” (nasi yang bercampur-campur), sungguh engkau anak yang tidak berbakti”. Sembari berkata demikian Guru Mangarissan menendang nasi Raja Tinatea. Raja Tinatea tidak dapat berbuat apa-apa. Dia berkata kepada abangnya :” dia ma dohonon ku dahahang, ai ido pancarian dohot pancamontanku, dengke na dapot doton sian tao ido hu boan tu onan pasar, jala di tukkar mai dohot boras na binoan ni angka panuhor i. Ai so adong hauma hu ula jadi beha bahenonku dahahang na laho patupahon indahan songon na pinatupa mi, ai hasil ni hauma na niula mi do dipatupa ho na laho pangananon ni natua-tua ta . I do na tarbahen ahu tu jolo ni damang ba ima hupasahat na laho panganon ni damang , beha ma bahenon ndang tarpatupa au songon na pinarade ni dahahang i ,”. (“ Apa yang aku bisa perbuat bang , itu adalah hasil pekerjaanku, ikan hasil tangkapan ku yang aku tukarkan di pasar , mana ada sawah yang aku kerjakan , jadi aku tidak bisa berikan seperti apa yang abang berikan kepada orang tua kita , “). Ikan hasil tangkapan jala dari Danau Toba di bawa ke pasar. Di pasar ikan ditukarkan dengan beras. Misalnya : 1 liter ikan mujahir ditukar dengan 1 liter beras. Orang yang dating untuk barter membawa beras, ada beras merah dan ada beras putih. Raja Tinatea tidak mungkin memilih beras mana yang akan ditukarkan dengan ikan hasil tangkapannya/jalanya. Sehingga beras yang diperoleh bercampur baur (“Marbolang”) antara beras merah dan beras putih, itu yang menyebabkan nasi yang berasal dari beras merah dan beras putih menjadi Marbolang .

Melihat hal tersebut Raja Sigalingging menatap kedua anaknya dan berkata :” Anakku Mangarissan, tidak perlu engkau mempermasalahkan makanan yang dibawa Adikmu , sebab itulah yang mampu ia berikan ,”.

Masyarakat di kampung dan sekitarnya mengetahui kejadian tersebut, Terkabar bahwa Guru Mangarissan “manggorakkon” ( menyepelekan ) makanan yang dibawa Adiknya karena “marbolang” (berbelang-belang) , pada saat memberikan makanan kepada Raja Sigalingging dengan cara menendang makanan yang dihidangkan oleh adiknya. Masyarakat sekitar merasa bahwa tindakan Guru Mangarissan tidak pantas, mereka mencibir dan mencuekin Guru Mangarissan dengan berkata :,” hanya karena bercampur makanan yang dibawa adiknya , kemudian dia menendang makanan tersebut,”.

Akibat dari perbuatannya , masyarakat di sekitar Huta Sigalingging kurang hormat kepada Guru Mangarissan , sebaliknya Raja Tinatea banyak mendapat nasehat agar sabar menghadapi tingkah laku Abangnya.

Karena Guru Mangarissan merasa dijauhi, dicuekin dan dimusuhi oleh masyarakat sekitar dia merasa tertekan dan semakin lama merasa asing di tengah-tengah masyarakat Huta Sigalingging Sait Ni Huta dan Pangururan. Dengan segala kepahitan dan kegalauan Guru Mangarissan meninggalkan tanah kelahirannya. Guru Mangarissan pergi merantau jauh agar tidak mendengar cemoohan tentang dirinya dan dia tidak ingin bertemu dengan orang sekampungnya.

Kisah in berlangsung alamiah, maka dikemudian hari Raja Tinatea diberi gelar Si “Tambolang” , karena nasi yang ia hidangkan kepada orang tuanya berbelang-belang dan kepada Guru Mangarissan diberi gelar “Sigorak”, karena memperhatikan makanan yang dihidangkan oleh adiknya.

Sejarah Namora Pangujian Anak Raja Sigalingging nomor 3 yaitu Namora Pangujian dengan gelar “Parhaliang”, menurut hikayatnya lahir di Rianiate sebelah selatan kota Pangururan. Raja Sigalingging berkelana ke Rianiate, pada saat itu putrid raja penguasa Rianiate dalam keadaan sakit parah. Sudah banyak “Datu” , ( dukun ) , yang berupaya untuk menyembuhkan sang Putri namun tidak kunjung sembuh. Akhirnya seseorang menyampaikan pesan dan berita kepada Raja Rianiate, bahwa ada seorang dukun dari Sait Ni Huta Pangururan yang saat ini berada di desa Rianiate. Sang Raja memesan Raja Sigalingging untuk mengobati putrinya. Dengan rendah hati Raja Sigalingging mengeluarkan ilmu “Pandampolon” ( Pijat Refleksi ), dan memijat Putri Raja dengan ramuan yang ia buat. Seluruh tubuh putri raja harus dibalur dengan obat Raja Sigalingging, karena harus dibalur langsung ke tubuh putri raja, maka putri raja tidak boleh mengenakan pakaian.

Setelah beberapa minggu putri raja sehat seperti sedia kala, banyak “Pariban”, (anak Paman) yang meminang putri raja, tetapi tidak satupun berkenan dihati putrid raja. Akhirnya sang Raja memanggil putrinya dan menanyakan mengapa putri tidak menerima lamaran dan pinangan paribannya. Putri raja menyahut :” Bagaimana aku mau menerima lamaran dari “Pariban” ku, seluruh tubuhku telah dipijat oleh Raja Sigalingging ketika aku sakit, jadi aku tidak sanggup menerima lamaran “Pariban” ku ataupun laki-laki lain. Keadaan ini berlangsung lama, namun sang putri tidak kunjung mau menerima lamaran pria lain. Akhirnya Raja Rianiate memanggil Raja Sigalingging dan memohon agar mau mempersunting putrinya. Raja Sigalingging menjawab :,” Mohon maaf yang sebesar-besarnya Raja, saya telah berkeluarga dan saat ini telah mempunyai dua orang putra, jadi tidak mungkin aku memperistri putri raja,”. Namun putrinya berkeras tidak mau dipersunting oleh pria lain.

Akhirnya Raja Sigalingging diminta untuk mengawini putrid raja Rianiate, Raja Sigalingging mau dengan persyaratan “Parpadanan” (janji yang mengikat), bahwa hal ini tidak boleh diceritakan oleh siapapun kepada keluarga Raja Sigalingging di Sait Ni Huta Pangururan . Tapi kelak kalau ada keturunan dari putri Raja Rianiate harus mencari keluarga Raja Sigalingging di Sait Ni Huta Pangururan itupun kalau Raja Sigalingging telah wafat. Itu adalah janji/pesan yang ia katakan agar ia mau mempersunting putri raja Rianiate.

Maka pada pesta “Peletakan Batu Pertama Tugu Raja Sigalingging” di Huta Sigalingging Sait Ni Huta Pangururan, pada saat akan membunyikan “ Gondang Sabungan”, turunan Namora Pangujian parhaliang memaparkan kisah Raja Sigalingging di Rianiate, dan mereka menyatakan bahwa mereka adalah “anak ketiga” dari Raja Sigalingging sesuai dengan pesan Raja Sigalingging jaman dahulu, yang menyatakan bahwa mereka harus mencari kedua abangnya di Pangururan.

Hal ini diekspresikan pada tugu Raja Sigalingging “tangga na tolu”, (tiga tangga) yang menopang pilar tugu Raja Sigalingging ada sebanyak tiga, yang menggambarkan jumlah anak Raja

Sigalingging ada 3 orang yaitu :

  1. SIGORAK
  2. SITAMBOLANG
  3. SIPARHALIANG.
Silsilah Turunan Guru Mangarissan ( Sigorak ) Turunan Guru Mangarissan ( Sigorak ) ada 3 yaitu :
  1. O. Limbong turunannya : 1. O. Manalasa
  2. O. G. Sahuta
  3. O.G. Raulim
O. Bonar turunannya :
  1. D. Upar
  2. D. Abar
  3. D. Mangapa
  4. D. Arang / D. Agong
  5. D. Mangambit
  6. D. Haturian (+)
O. Bada turunannya :
  1. O. Tendang
  2. O. Banuarea
  3. O Manik ( Simsim/Pakpak)
  4. O. Bringin
  5. O. Gajah
  6. O. Brasa
SEJARAH OMPU BADA

Ada beberapa versi sejarah yang penulis peroleh tentang keberadaan dan eksistensi turunan O. Bada di daerah Manduamas (Tap. Tengah) seperti yang penulis uraikan :

Sejarah O. Bada ini dibuat dengan tulisan tangan St. Johan Sahala Tua Banuarea dengan gelar O. Jonaris Banuarea para tahun 1987. Buku sejarah O. Bada ini sangat bermanfaat dan banyak memberikan informasi yang sangat penting terutama bagi keturunan O. Bada.

Di samping ke enam marga tersebut di atas masih ada lagi marga Boangmenalu dan Bancin yang juga merupakan keturunan O. Bada.

Menurut data yang diperoleh oleh penulis bahwa O. Bada berasal dari Barus kemudian melaksanakan perjalanan, mengembara dan terakhir berdomisili di Parmonangan Pakkat.

TENDANG Asal muasal nama Tendang bermula ketika O. Bada bermukim di tepi Lae (sungai) Sinendang di daerah Boang Aceh Selatan. Hulu Lae Sinendang berasal dari Pakkat Sienemkuden dan Simsim. Karena anak pertama O. Bada lahir di tepi Lae Sinendang maka anak pertama tersebut diberi dengan nama TENDANG.

REA

Perkampungan O. Bada menggunakan benteng dengan parit keliling. Di depan perkampungan dibuat gerbang masuk yang disebut dalam bahasa Pakpak Pentu Rea, sedangkan di bagian belakang dibuat pintu keluar yang dalam bahasa Pakpak disebut Ekur – ekur. Pada suatu hari istri O. Bada merasa akan melahirkan sehhingga ia buru-buru pulang dari ladang. Sang ibu tidak sempat sampai keperkampungan dan lahirlah si bayi laki-laki di pintu gerbang masuk (Pentu Rea) perkampungan itu. Oleh karena itu nama putra itu disebut REA, yang kemudian menjadi BANUREA (tanpa a setelah huruf u) dan umumnya disebut BANUAREA .. Daerah asal Banuarea adalah Kec. Salak , Kab Dairi. MANIK.

Manik yang dimaksud pada uraian ini adalah MANIK PAKPAK yaitu dari daerah Kecupak dan Pengindar Kec. Salak, Kab. Dairi. Oleh karena itu sering disebut MANIK KECUPAK dan MANIK PENGIDAR berdasarkan asal muasalnya.

Pada saat ibundanya mengandung , O. Bada bertanya kepada istrinya siapakah kelak nama anak bila dilahirkan. Sang istri mengatakan si Polan, tetapi O. Bada tidak sepakat. Demikian juga bila sang suami mengajukan nama, maka sang istri tidak setuju. Sampai suatu ketika sang bayi lahir dan mereka saling bertanya siapa nama bayi ini. Si ibu berkata : itulah pada saat dia di “Kurungen Manik” (dalam kandungan), kita setuju sepakat namanya siapa. O. Bada menangkap dan merenungkan perkataan “MANIK”. Dia berkata kepada istrinya karena di kurungen manik kita belum sepakat maka setelah lahir dari kurungen manik kita beri dia bernama “MANIK”

PERMESAWARI Satu-satunya putri O. Bada adalah Permesawari kemungkinan kata berasal dari kata Permaisuri. Permesawari mempunyai dua anak yaitu : NALU yang kelak menjadi Boangmenalu tinggal di Salak Penanggalen Kampung Kuta Tengah, Kuta Payung, Kuta Jojong, Kec Salak Kab Dairi. Anak ke dua bernama BANCIN yang tinggal di Penanggalen Mbinanga Boang Kec. Salak dan Penanggalen Jehe di Boang Aceh Selatan (Lipat Kajang).

BRINGIN Pada suatu hari O. Bada pergi ke ladang untuk mencari sesuatu. Sekembalinya dari ladang di halaman rumahnya dia melihat tumbuh pohon bringin. Bringin itu menjadi pembicaraan dan pada saat itulah lahir anak O. Bada. Akhirnya bayi yang baru lahir tersebut diberi nama BRINGIN.

GAJAH Pada sat istri O. Bada akan melahirkan anaknya, O.Bada didatangi rombongan gajah. Rombongan gajah ini tidak merusak perkampungan hanya lewat saja dan pada saat itu lahirlah sang bayi. Peristiwa itu menjadi kenangan bersejarah maka dinamakanlah anak yang baru lahir itu si GAJAH.

BRASA

Pada saat sang bayi lahir, O. Bada mendapatkan hasil buruan seekor babi hutan yang sangat besar dalam bahasa Pakpak disebut “Uangkah Brasa” sehingga bayi yang baru lahir disebut “BRASA”.

RIWAYAT O. BADA Tulisan ini diperoleh dari Jater Usen Gajah (Op. Dian Damai ) dari Pasar Onan Manduamas.

Mpu Bada berasal dari Toba Pulau Samosir. Nama aslinya Sigorak Sigalingging sedangkan nama perantauan Mpu Bada , karena timbulnya perselisihan ( Mar bada) dengan adiknya Tambolang dan Parhaliang, terpaksa lari malam kemudian menukar nama agar jangan diketahui dimana ia berada. Di Samosir kawin dengan boru Sakkaraer (kemungkinan yang dimaksud adalah boru Naibaho Takkarain) anaknya di Samosir ada dua orang yaitu Juara Gajah dan Ucok

Sigorak merantua ke Dolok Sanggul dan kemudian kawin dengan boru Purba dan mendapat tanah warisan di si Risi-risi dan mempunyai keturunan di daerah ini. Ompu Sigorak kemudian merantau ke Barus dan kawin dengan boru Sultan Barus marga Pohan. O. Bada sanggup membunuh burung garuda dengan cara membuat lubang bulat seperti gua dan menyalakan api di dalam gua tersebut. Kemudian burung garuda datang dari arah laut untuk mencari makanan seperti : kerbau, kambing, manusia dll. Asap api yang mengepul dari mulut gua menarik perhatian burung garuda, asap api disambar, pada saat disambar O. Bada menebas leher burung tersebut, tujuh kali disambar tujuh kali lehernya ditebas. Akibatnya burung tersebut mati dan jatuh kedalam sungai , akibat bangkai burung garuda yang membusuk selama 6 bulan air sungai berbau busuk maka sungai tersebut diberi nama Aek Busuk hingga sekarang.

Raja Barus berjanji siapa sanggup membunuh burung garuda itulah jadi menantunya. O. Bada resmi menantu Raja Barus yang bermarga Pohan. Di Barus ia diberi tanah pembagian yang terletak di batas Barus hingga ke sebelah Cup-cup lae Cinendang sampai batas pasang surut pinggir laut. Di daerah ini tinggal ke enam anak O. Bada.

Batas tanah O. Bada dengan Barus Ranggitgit ditanami dengan giro-giro. Tumbuhan giro-giro ditanam lurus mulai dari pinggir laut hingga ke kaki gunung yang terletak dikampung si Rami-ramian. Batas ke gunung ditanami dengan kayu berdaling-daling yang disebut “Paluan Daling” sampai ke puncak gunung. Batas ke tanah Rambe yaitu turun ke bawah di kampung Adian ditanami sampilpil hingga ke tolping. Di daerah ini katak siang malam bersuara terus menerus sehingga di sebut Kerrak-kerrak. Batas tanah dengan Marbun ditanami dengan bulu aor yang berbaris-baris. Batas tanah dengan meka Mungkur Namo merupakan perjanjian antara Homang dengan Manusia ditanami dengan hotang sosa sampai ke gunung Lempurrah dan berbatas dengan tanah Berutu di Lae Cinendang.

II.1. 2.Silsilah Turunan Raja Tinatea ( Sitambolang ) Turunan Raja Tinatea ada 3 yaitu :

  1. Guru Sinalsal
  2. Datu Ronggur
  3. Guru Soalosan
  4. Ompu Gonti
1. Turunan Guru Sinalsal :. 1. O. Toganaibaho
  1. Raja Pande
  2. Datu Bandang

  3. O. Baliga
Raja Pande turunanya : 1. O. Binduan
  1. Guru Mangarissan
  2. O. Humuntal
Turunan Guru Mangarissan : 1. O. Tonggor Nihuta
  1. O. Sombaraja
  2. O. Pangalingling
2. O. Tonggotua ; O.Janingan O. Manualang 2. O. Humuntal : Soriate ; 1. O. Mangihutlan 2. O. Jarulan Datu Bandang -( 1. O. Panaluksuk : 1. Guru Tindandangan ; O. R. Sulu Bokkot Langgat Ulubalang O. Suaon O. Maripul G. Mangarunding 2. O. Marlait O. Marmiok O. Sikkiraja O. Barombon 2. Note : Turunan D. Ronggur ; data belum ada 3. Turunan G. Soalosan : O. Hutajulu ---à 1. O. Barita Na Gok : O. Danganon ( O. Julonggo) O. Haminjon O. Sanduduk O. Martiang 2. O. Barita Mopul : Najanggut Na Miseon Namora Tunggal Sabungan Mangolat Raja Niampu 3.2.1. Sejarah Ompu Sabungan Mangolat. Ompu Sabungan Mangolat merupakan anak ketiga dari O. Barita Mopul.

Menurut sejarah Batak bahwa asal muasal Batak berasal dari Sianjur Mula-mula di Limbong Samosir kaki Dolok Pusuk Buhit kampung Parik Sabungan, Huta Sijambur. Jadi asal mula si Raja Batak adalah Sianjur Mula-mula atau Sianjur Mula Tompa yang membelakangi pegunungan dan menghadap Toba. Turunan si Raja Batak banyak yang merantau ke negri seberang bermukim di sana hingga beberapa generasi dan menjadikan tempat tinggalnya menjadi “BONA BASOGIT “ (Kampung Halaman).

Sampai kepada generasi kita sekarang banyak turunan Batak yang pergi merantau hingga beranak cucu di tempat yang ia tuju.

Banyak faktor dan alasan yang menyebabkan banyak orang Batak meninggalkan kampung halamannya, ada yang disebabkan pertengkaran, kesalahan serta atas kehendak sendiri.

Si Raja Batak sangat terkenal , ada yang jadi guru maupun jadi dukun. Ada juga di antara mereka yang sifatnya jahat.

Tentang kepergian Ompu Sabongan Mangolat, sangat berbeda seperti alasan beberapa orang yang disebutkan di atas. Ompu Sabongan Mangolat sangat menyayangi putrinya. Yang ,,,,,,,,,,,,,,,, Sabungan Mangolat adalah Ompu So Haginjangan , nama ini yang dikenal bagi mereka yang tinggal di Pangaribuan.

Ompu So Haginjangan sangat terkenal dan banyak ilmu sampai ia digelari :”SI TAMBANG DUA RIBU – SI SONGSONG DUA RATUS”.

Ompu So Haginjangan mempunyai seorang adik perempuan yang bernama “ SINDAR MATA NI ARI “, parasnya sangat cantik dan baik hati. Ompunta So Haginjangan tinggal di Pangururan, dekat kampung Onan Runggu, Sosor pasir kampung Toga Pakpahan.

Toga Pakpahan mempunyai tiga orang anak, anak nomor dua bernama Parhuta Namora (Mora), Mora mempunyai seorang anak yaitu Parbona Raja yang mempunyai tiga orang anak yaitu : Panulampak, Datu Ronggur Diaji, porhas Manjunging. Datu Rongur Diaji ini yang dinamakan marga PAKPAHAN si ALA LALI, dan ini lah yang mengawini adik perempuan Ompu So Haginjangan yaitu Sindar Mata Ni Ari br Sigalingging dan mereka tinggal di Pangaribuan.

Datu Rongur Diaji adalah dukun besar, ia sering bepergian ke kampung lain untuk memperkenalkan kepintarannya bisa sampai berbulan-bulan, sementara Sindar Mata Ni Ari mempunyai keahlian bertenun .

Suatu ketika ketika Sindar Mata Ni Ari bekerja, dia selalu memperhatikan dua ekor elang yang sedang berkelahi. Kadang-kadang elang tersebut bertengger di pohon Bacang di mana Sindar Mata Ni Ari selalu bertenun. Burung elang tersebut saling patuk mematuk dari pagi hingga sore hari. Ketika hendak pulang ke rumah Sindar Mata Ni Ari sempat membersihkan badannya ke : “Mual Si Mata Ni Ari” (Air Si Mata ni Ari), sekalian mau mengambil air untuk dibawa kerumah. Tiba-tiba seekor elang yang sedang berkelahi tadi jatuh persis di depan Sindar Mata Ni Ari, kemudian ia menutup elang tersebut dengan kain sarung. Menurut adat istiadat yang berlaku, elang yang ditangkap Sindar Mata Ni Ari harus diberikan kepada Abang suaminya atau kepada Mertuanya agar mereka memasaknya. Setelah daging burung elang tersebut masak kemudian mertuanya memberi bagian berupa : kaki dan sayap kepada Sindar Mata Ni Ari. Sindar Mata Ni Ari sangat kecewa dengan pemberian abangnya, padahal ia yang mendapat burung elang tersebut. Ia beranggapan bahwa ini terjadi karena suaminya tidak berada di rumah, lantas ia menyimpan daging burung tersebut di dekat tungku masak. Perasaan Sindar Mata Ni Ari sangat terpukul, perlakuan abangnya ini sangat di luar adat, namun dia tidak berani mengatakannya.

Setelah Datu Ronggur DiAji pulang dari perantauan, Sindar Mata Ni Ari menyiapkan makanan suaminya, ia memberikan daging burung elang yang diberikan abangnya. Melihat makanan yang tersedia perasaan Datu Ronggur Di Aji berkecamuk, ada apa gerangan yang terjadi hingga lauk-pauk hanya ini ?. Namun Datu Ronggur Diaji tetap makan. Setelah mereka selesai makan, kemudian Sindar Mata Ni Ari menceritakan perihal burung elang yang ia dapat serta ‘sayap dan kaki” yang diberikan oleh abanya. Mendengar cerita tersebut Datu Ronggur Diaji kaget dan beranggapan bahwa perlakuan Bapak serta abangnya tidak pantas. Sejak saat itu Datu Ronggur Diaji berencana untuk pergi dari kampungnya. Datu Ronggur Diaji beserta istrinya telah sepakat untuk pergi ke kampung lain, adiknya yaitu Porhas Marjunging juga turut ikut.

Sebelum mereka berangkat terlebih dahulu mereka permisi dengan pihak keluarga Sigalingging. Mereka berangkat dari Pulau Samosir menggunakan sampan. Dari hari ke hari, bulan ke bulan perasaan Ompu Sohaginjangan dan Parbona Raja Pakpahan sangat khawatir. Sampai terdengar kabar bahwa keluarga Datu Ronggur Diaji tinggal di Parulubang di Purbatua. Melawan musuh Nainggolan dan dia menang disitu. Kemudian Ompu Sabungan Mangolat pergi ke Purbatua Parsoburan untuk menjumpai keluarga Datu Ronggur Diaji.

Ternyata Datu Ronggur Diaji tidak tinggal di Purbatua, walaupun dia telah menikah dengan Boru Nainggolan. Datu Ronggur Diaji langsung pergi ke Lobu Siregar menjumpai Sindar Mata Ni Ari dengan demikian Ompu Sabungan Mangolat tidak bertemu dengan Datu Ronggur Diaji. Ompu Sabungan Mangolat tidak bosan-bosannya mencari Datu Ronggur Diaji, dari kampung satu kekampung yang lain hingga ke Angkola – Habinsaran. Di Angkola Ompu Sabungan Mangolat tinggal disini ( Sibalanga ) sambil menunggu kabar keberadaan Datu Ronggur Diaji. Sementara itu Datu Ronggur Diaji terus berjalan dari kampung yang satu ke kampung yang sambil menunjukkan kepintarannya dan membantu orang-orang yang membutuhan pertolongannya. Hingga mereka sampai ke Pangaribuan dan menetap disini.

Ompu Sabungan Mangolat mempunyai tiga orang anak yaitu :

  1. Satu orang tinggal di Sabalanga, dia dan keturunannya digelari “MUNTHE SABALANGA”.
  2. Satu orang tinggal di “Huta Tonga Habinsaran” dan keturunannya digelari “MUNTHE POLLUNG”, dan dia mempunyai keturunan yang ditinggal di Botung.

Kabar tentang keberadaan Datu Ronggur Diaji yang menetap di Parsoburan didengar oleh Ompu Sabungan Mangolat yang kemudian mengutus salah seorang anaknya untuk menjumpai Datu Ronggur Diaji.

Kedatangan Ompunta ke Pangaribuan bermaksud menjumpai ,,,,,,, mereka tetap menggunakan marga Sigalingging salah satu keturunnya adalah orang tua dari Ompu Gonti, nenek dari Peterus Sigalingging ( Op. Togi ). Hal ini yang menyebabkan marga Sigalingging terdapat di Pakpahan – Pangaribuan, sampai saat ini sudah 9 (sembilan) generasi.

Pada saat pesta tugu “ Datu Ronggur Diaji dan Sindar Mata Ni Ari Br. Galingging “ di Pakpahan – Pangaribuan hadir utusan “Dongan Tubu” (semarga) Munthe Pollung dan Munthe Sabalanga. Menurut pengakuan mereka, yaitu Ompu “OJI” (Op. Oji – , sebab mereka yang datang sudah HAJI. Namun begitu mereka tetap menekankan bahwa Munthe Pollung dan Munthe Sibalanga sebenarnya adalah marga “SIGALINGGING”.

Di Humbang Ompu Sohaginjangan digelari RAJA ISANGANGA ( Raja Sanga ) dan dia mempunyai 4 (empat) anak yaitu :

  1. Janggut Namiseon
  2. . Namora Tunggal, raja yang sangat sakti. Namora Tunggal “mar Hula-hula “, (saudara dari pihak istri) dengan marga Lumban Toruan Hariara, pada masa itu Lumban Toruan sering bertengkar dengan semarganya , kemudian Lumban Toruan memimjan kuda Namora Tunggal yang bernama : “ SIPISTIK LANGIT”. Karena pertengkaran ini tentu saja membawa pengaruh kepada Namora Tunggal hingga ia keluar dari Humbang dan pergi ke Nagasaribu – Saribudolok daerah Simalungun. Setelah beberapa lama mereka tinggal di Nagasaribu kemudian datang marga Sinaga untuk meminta pertolongan. Marga Sinaga mengetahui hal ini dari marga Lumbantoruan yang mengatakan bahwa Namora Tunggal sangat sakti. Kemudian raja Sinaga menghadap Namora Tunggal dan dia bersedia membantu marga Sinaga, pendek cerita seluruh musuh marga Sinaga dikalahkan oleh Namora Tunggal. Atas jasanya marga Sinaga memberikan upah berupa tanah dan ia memperistri Br Sinaga. Begitulah hikayatnya hingga marga SIGALINGGING mempunyai kampung di NAGASARIBU / SARIBU DOLOK hingga saat ini.
  3. Ompu Sabungan Mangolat.
  4. Raja Niampu. Tinggal di Dolok Sanggul – Siambaton julu
II.1.3. Silsilah Turunan Namora Pangujian ( Parhaliang )
    Turunan Namora Pangujian :
  1. 1. O. Raja Ni Aji :
  2. 1. O. Raja Nape
  3. O. Tuan Nagoni
  4. 2. O. Isahal
  5. O. Juarapane :
    1. 1 O. Humuntal
    II.2. Marga Pomparan Ni Raja Sigalingging

    Dari data dan berbagai sumber yang diterima setelah adanya Sarasehan “Tarombo Marga Raja Sigalingging” yang dilaksanakan pada tanggal 20 s/d 22 Desember 2000 di Hotel Hermina T.D. Pardede, Parapat ada beberapa hal penting dan prinsipil yang harus diketahui bahwa Marga-marga dari keturunan Raja Sigalingging berjumlah 13 yaitu :


    Marga marga keturunan Raja sigalingging
    MARGA ASAL
    1 sigalingging Tapanuli Utara,Tobasa,Humbang
    2 Garingging simalungun
    3 Tendang Boang aceh
    4 Banurea Dairi
    5 Manik pakpak(Kecupak,Pengindar) Dairi
    6 Bringin Simerpa Dairi
    7 Gajah Manduamas(Tap.Teng),Parmonangan ,Pakkat, Dairi
    8 Brasa Sileang ,Parmonangan,Parlilitan
    9 Boangmanalu Dairi
    10 Bancin Dairi
    11 Saraan ?
    12 Kombih ?
    13 Brampu ?

    Note : Saraan, Kombih, Brampu merupakan cucu dari O. Banuarea tersebar di daerah Boang dan Keppas perbatasan Dairi dengan Aceh.