Diberdayakan oleh Blogger.

instagram

Instagram

Label

Flag Counter

Total Tayangan Halaman

Translate

Kamis, 13 November 2008

Aksara Batak Toba

Aksara Batak Toba

Induk Huruf

Sistem tradisi penulisan didalam bahasa Batak Toba diduga telah ada sejak abad ke-13,dengan aksara yang mungkin berasal dari aksara Jawa Kuna, melalui aksara Sumatera Kuna. Aksara ini bersifat silabis artinya tanda untuk menggambarkan satu suku kata/silaba atau silabis. Jumlah lambang /tanda itu sebanyak 19 buah huruf yang disebut juga induk huruf dan ditambah 7 jenis anak huruf.

Pada dasarnya huruf /ka/ tidak pernah ditemukan dalam bahasa Batak Toba, misalnya orang Batak Toba pada mulanya bila menyebutkan kopi adalah hopi, dan hoda [bukan kuda]. Tetapi sekarang ini orang Batak tidak lagi menyebutnya hopi melainkan kopi, itulah perubahan pelafalan dalam bahasa Batak Toba.

Catatan:

  1. Untuk menuliskan semua kata-kata asli bahasa Batak. Sebenarnya hanyalah dipergunakan aksara-aksara yang telah diperkenalkan itu. Tetapi karena pengaruh bahasa asing maka terpaksalah dibuat aksara-aksara yang lain untuk melengkapi aksara yang sudah ada itu, yaitu : wa, ka , ya, nya dan ca.
  2. Karena menulis garis yang agak melengkung jauh lebih mudah dan merasa senang dari pada membuat garis lurus, maka bentuk aksara-aksara Batak “Surat Barak” itu menjadi melengkung.
  3. Cara menulis aksara Batak sama saja dengan menulis huruf latin, yaitu dari kiri ke kanan.
  4. “Surat Batak” tidak mempunyai tanda baca seperti koma, titik koma dan lain sebagainya. Yang ada hanya tanda untuk menyatakan sebuah kalimat berakhir dengan bentuk seperti [ ]
  5. Pada surat Batak tak ada huruf besar atau kecil, sebab aksara Batak itu bentuknya sama.
    Anak huruf, Hatadingan (-) “e”; dan hamisaran/paninggil (..-) “ng” berada pada induk huruf dan hamisaran/paninggil “ng” dapat melekat dengan anak huruf seperti haluaan (o), singkora (x)
  6. Hamisaran; Paninggil “ng” selalu melekat pada anak huruf, seperti haluaan (o), singkora(x).

Anak Huruf

Anak huruf dalam aksara Batak Toba terdiri atas 7 buah yang dipergunakan untuk mengubah bunyi induk huruf, misalnya bunyi /i, u, o,e/ dan menambah bunyi /ng/ pada induk huruf tersebut . Perhatikan anak huruf di bawah ini.

  1. Haluaan (…. o)bunyi /i/, yakni mengubah bunyi induk huruf menjadi bunyi /i/.
  2. Haboruan atau haborotan (…>) bunyi /u/, yakni mengubah bunyi induk huruf menjadi bunyi /u/.
  3. Singkora atau siala (…x) bunyi /o/, yakni mengubah bunyi induk huruf menjadi bunyi /o/.
  4. Hatadingan (-…) bunyi /e/, yakni mengubah bunyi induk huruf menjadi bunyi /e/.
  5. Paninggil atau hamisaran bunyi /ng/, yakni menambah tanda garis di atas induk huruf sebelah kanan yang menjadi bunyi /ng/ atau tanda diakritis yang menutup suku kata dengan bunyi.
  6. Sikorjan (…=) bunyi /h/ yang terikat. Selain bunyi “h” yang dapat berdiri sendiri ada juga bunyi “h”. yang terikat kepada induk huruf (ina ni surat). Dahulu kala dalam pustaha Batak tidak mengenal huruf “h” yang terikat, akan tetapi mengenal huruf “h” yang bebas (tidak terikat) pada ina ni surat (induk huruf). Tanda huruf “h” (sikorjan) yakni membubuhi tanda garis dua diatas induk huruf agak ke sebelah kanan, yang pada akhirnya berbunyi /h/.
  7. Pangolat (\), merupakan garis miring berfungsi untuk merubah bunyi vokal menjadi bunyi konsonan atau tanda diakritis yang menghilangkan bunyi dari huruf induk pada akhir suku kata.
  8. Untuk pemenggalan di akhir kata, dipakai tanda kurung tutup misalnya tanda [ ) ].
  9. Untuk mengakhiri kalimat dipergunakan tanda kembang [ ]
  10. Semua aksara ditulis di bawah garis dengan tujuan agar kelihatannya rapi dan mudah ditulis. Huruf besar dan huruf kecil tidak ada perbedaan.
  11. Kata dalam aksara Batak ditulis tanpa jarak, tidak mempunyai batas permisah antar kata.
  12. Untuk menulis aksara Batak ditulis agak melengkung sedikit (punggungnya agak bungkuk sedikit).
  13. Patik dohot poda ni surat Batak
  14. (1) Ingkon jumolo do ina ni surat bahenon, misalnya morhamisaran “ng” ipe asa maranak; morhatadingan “e”; morhaboruan “o” morhauluan “i”; morhaboritan “u”.

    (2) Ingkon jumolo do ina ni surat marhajoringan “h” (di Simalungun dohot Karo) ipe asa maranak; hatalingan “e” ; haboruan “o” hauluan “i”.

    (3) Ingkon jumolo do ina na tu inana tongonon “manongan “, ipe asa mangihut anakna bahenon.

    Ndang jadi tu anak ni surat ampe hamisaran i, ingkon tu ina ni surat do parjolo, ipe asa maranak, morhauluan manang morhaboruan.

PENGEMBANGAN AKSARA BATAK

Pada awalnya nenek moyang kita Siraja Batak mengukir aksara Batak untuk dapat menulis bahasa Batak, bukan untuk dapat menulis bahasa-bahasa yang lain. Barangkali pada waktu aksara Batak itu disingahon Siraja Batak, mereka tidak teipikir bahwa masih ada bahasa-bahasa yang lain selain bahasa daerah Batak.

Akan tetapi setelah Siraja Batak marpinompari, mereka menyebar ke desa na uwalu, barulah mereka tahu bahwa sebenarnya masih ada bahasa daerah selain bahasa Batak.

Hal ini setelah datangnya sibontar mata (bangsa asing), kemudian menyusul dengan perang Batak dan perang Padri, barulah terbuka mata para pendahulu kita bahwa sebetulnya masih banyak bahasa-bahasa yang mereka temui di luar Tano Batak.

Kemudian kita merdeka, maka semakin banyak pula pergaulan orang Batak dalam rangka mencari upaya-upaya peningkatan taraf hidup.

Mereka bisa sekolah di negeri masing-masing bahkan bisa di luar Tano Batak dan akhirnya bisa ke Batavia.

Pengetahuan kita semakin terbuka sehingga selain bahasa Indonesia masih banyak bahasa-bahasa daerah lain dibumi persada kita ini.

Kalau kita melihat bahasa daerah Sunda, Jawa, Bali dan lain-lain, aksara Batak itu hanya bisa menulis bahasa Indonesia selain bahasa Batak. Aksara Batak tidak bisa menulis bahasa Sunda, Jawa, Aceh, Bali dan sebagainya maupun bahasa-bahasa asing seperti bahasa Inggris, Perancis, Jerman.

Untuk mengantisipasi perkembangan zaman, sesuai dengan amanat GBHN, maka tokoh-tokoh masyarakat Batak melalui seminar pada tanggal 17 Juli 1988, telah mencoba mengembangkan aksara Batak dari 19 induk huruf menjadi 29 induk huruf.

Dengan demikian, maka bahasa Indonesia akan dapat dituliskan dengan aksara Batak.

Surat Batak yang di sepakati 17 Juli 1988 dikembangkan oleh masyarakat Batak Angkola-Sipirok-Padang Lawas-Mandailing-Toba-Toba-Dairi-Simalungun dan Batak Karo

……………. Akan di lanjutkan di topik berikutnya

Sumber : Berbagai Sumber

Sabtu, 02 Agustus 2008

DINASTI-DINASTI BATAK


Dalam peradaban Batak yang telah eksis dan terstruktur sejak ribuan tahun sebelum kelahiran Yesus Alaihissalam, terdapat beberapa dinasti yang turut serta dalam memperkaya khazanah sejarah bangsa Batak

Berikut adalah dinasti-dinasti tersebut yang membangun peradaban Batak.

DINASTI SAGALA (SORIMANGARAJA)

1. Sorimangaraja I-XC (1000 SM-1510M)
2. Sorimangaraja XC (1510). Dikudeta oleh orang-orang marga Simanullang
3. Raja Soambaton Sagala menjadi Sorimangaraja XCI
4. Sorimangaraja CI (ke-101) 1816 M dengan nama Syarif Sagala. Sudah Masuk Islam

Dinasti ini berdiri di pusat tanah Batak, Sianjur Sagala Limbong Mulana (SSLM) sejak berabad-abad sebelum masehi dan kemudian berkembang di tanah Batak selatan atau Mandailing, Angkola dan Natal.

Pada fase 1000 SM – 1510 M, dari ibukotanya di SSLM, dinasti Sorimangaraja memerintah selama 90 generasi dalam sebuah bentuk kerajaan teokrasi. Rajanya bergelar Datu Nabolon atau Supreme Witch Doctor.

Dinasti ini pernah mengalami guncangan politik dalam negeri yang hebat saat pihak komunitas Batak di Simalungun memisahkan diri pada tahun antara 600-1200 M dan mendirikan Kerajaan Nagur yang menjadi fondasi terhadap kesultanan Islam di tanah Batak perbatasan Aceh dan di Aceh sendiri.

Melihat luasnya cakupan kerajaan ini, kalangan komunitas Batak di tanah karo dusun, juga akhirnya memilih untuk memisahkan diri dan mendirikan kerajaan Haru Wampu. Pemisahan diri tersebut juga berakibat kepada pemisahan sistem sosial dan identitas.

Pada tahun 1510, pemerintahan Sorimangaraja XC dikudeta oleh orang-orang marga Si Manullang. Informasi ini didapat dengan menganalisa legenda dan cerita rakyat di Kerajaan Dolok Silo di Simalungun yang menyebutkan bahwa Dinasti Sorimangaraja dikudeta oleh orang-orang marga Simanullang hanya dua tahun paska kemenangan Sultan Aceh yang pertama dalam mengalahkan Raja Haru Wampu yang keempatbelas.

Dalam peristiwa tersebut, atas perintah Sultan Ali Mukayat Syah, Panglima Manang Sukka (Seorang Batak Karo) merebut daerah Haru Wampu pada tahun 914 H atau 1508 M. Banyak kisah dan sejarah Batak yang sangat kaya tersebut tidak dilengkapi dengan tarikh dan penaggalan yang jelas. Namun karena kejadian-kejadian tersebut selalu berhubungan dengan kesultan dan kerajaan-kerajaan Aceh yang sudah banyak tenaga ahlinya yang menuliskan sejarah yang bertanggal, maka sangat mudah untuk memastikan tahun-tahun kejadian di kerajaan Batak tersebut.

Orang-orang marga Simanullang sempat berkuasa di tanah Batak pada tahun 1510-1550 M, Namun akhirnya kekuasaan mereka redup dan digantikan oleh Dinasti Sisingamangaraja. Kekuasaan orang-orang marga Simanullang direbut oleh seorang Datu marga Sinambela.

Dinasti Sisingamangaraja sendiri memerintah percis dalam tahun-tahun yang sama dengan pemerintahan Dinasti Sultan Ali Mukayyat Syah (1513-1904 M). Oleh sebab itu, terdapat banyak angka-angka tahun di dalam tarikh hijriah perihal raja-raja Sisingamaraja ada di dalam buku-buku hikayat perang Aceh. Raja-raja Sisingamangaraja sendiri selalu menuliskan penanggalan mereka dalam tarikh hijriyah. Misalnya, stempel kerajaan yang bertanggal hijriyah.

Saat kejatuhan dinasti Sorimangaraja, mereka kemudian, pindah ke tanah Batak Selatan. Di sana mereka berusaha untuk menampilkan kembali kejayaan mereka yang dulu. Mereka sangat disegani oleh raja-raja lokal di Tapanuli Selatan sekarang ini.

Raja Soambaton Sagala menjadi Sorimangaraja XCI. Dia migrasi ke selatan melewati tanah Batak yang aman dalam kekuasaan Dinasti Hatorusan (Pasaribu) dan Dinati Pardosi.

Raja Soambaton diikuti oleh dua orang pengawal pribadinya; Tahi Sitanggang dan Bonggar Simbolon. Di daerah ini Tahi Sitanggang dan Bonggar Simbolon dalam sebuah perayaan Tabut Hassan Hussein memeluk agama Islam dan keduanya menikah dengan putri-putri Batak Syiah di teluk Sibolga.

Keduanya membangun kampung-kampung komunitas Batak di Teluk Sibolga dalam bentuk masyarakat maritim. Mereka banyak menjadi pelaut dan bekerja pada kapal-kapal musafir asing yang singgah di daerah tersebut. Komunitas mereka ini berkembang sampai ke daerah Ujung Karang yang sekarang bernama Padang. Orang-orang Batak yang berasal dari Humbang, Toba dan Silindung ini saat itu menganut agama Islam mazhab Syiah Karmatiyah lengkap dengan perayaan Tabuik-nya (Tabuk Hassan Hussein).

Raja Soambaton sendiri memilih untuk meneruskan perjalanannya ke Sipirok melalui Batangtoru dan Marancar. Di sana dia berkesempatan menjadi seorang Ahli Hujur Panaluan dalam tradisi perayaan ritual Upacara Gajah Lumpat. Berkat posisinya tersebut dia akhirnya diangkat menjadi Datu Nahurnuk oleh penduduk lokal di Sipirok yang kebanyakan bermarga Siregar.

Dia kemudian membangun singgasananya di Sampean, di atas bukit Dolok Pamelean di bawah pohon Bona Ni Asar. Dia resmi diakui oleh raja-raja lokal di Sipirok menjadi Sorimangaraja yang ke-91. Pasar Sipirok dan Dolok Pamelean menjadi pusat pemerintahan yang ramai.

Pada tahun 1816, Sorimangaraja CI (ke-101) menjadi pemeluk agama Islam dengan ajakan Raja Gadumbang. Dia mengucapkan syahadat dan mengganti namanya menjadi Syarif Sagala. Pada tahun 1834, hegemoni raja-raja Batak yang menjadi kaum adat mendapat tantangan dari kaum Padri yang berasal dari Sumatera Barat.

Dua orang saudara Syarif Sagala yakni; Jamaluddin Sagala dan Bakhtiar Sagala kembali menganut agama tradisional Batak. Sejarah Batak pada tahap ini seakan berhenti dengan intrusi orang-orang Eropa; Inggris dan Belanda.

Orang-orang marga Sagala yang kembali menganut agama tradisional Batak tersebut akhirnya dikristenkan oleh Pendeta Gerrit van Asselt menjadi penganut protestan kalvinist. Paska kemerdekaan RI, orang-orang marga Sagala yang kristen yang jumlahnya sedikit hidup dengan aman penuh toleransi dari saudara-saudara mereka di Sipirok, tepatnya di kampung Sampean yang praktis seluruhnya beragama Islam.


DINASTI PASARIBU (HATORUSAN)

Dinasti ini didirikan oleh Raja Uti putra Tateabulan. Bila Dinasti Sorimangaraja berakhir di tanah Batak bagian selatan (Tapse), maka Dinati Hatorusan ini berakhir di Barus, atau tanah Batak bagian barat.

Ibukotanya sendiri berada di kota-kota pesisir. Di antaranya Singkel, Fansul dan Barus. Raja Uti yang mendirikan kerajaannya di wilayah Limbong Sagala memerintahkan pemindahan kekuasaan ke wilayah fansur.

Sejarah regenerasi Raja Uti, mulai dari 1000 tahunan sebelum masehi sampai salah satu keturunanya yang bergelar Raja Uti VII di tahun 1500-an, tidak terdokumentasi dalam penanggalan yang jelas. Namun secara umum, dia memiliki beberapa keturunan, yang sempat diketahui namanya. Namun mungkin saja antara satu nama dengan nama yang lain berjarak puluhan sampai ratusan tahun. Karena kerajaan Hatorusan selalu hilang dan mucul kembali sesuai dengan percaturan politik.

1. Datu Pejel gelar Raja Uti II
2. Ratu Pejel III
3. Borsak Maruhum.
4. Raja Uti V bergelar Datu Alung Aji
5. Raja Uti VI yang bernama Longgam Parmunsaki.
6. Raja Uti VII bernama Datu Mambang Di Atas.

Selama pemerintahan Raja Uti VII, abad ke-16, pemerintahan kerajaan mulai goyah. Ekspansi kerajaan telah meluas sampai ke beberapa wilayah di Aceh. Raja Uti VII diceritakan memindahkan ibu kota kerajaan ke wilayahnya di bagian utara yang sekarang masuk kedalam pesisir Aceh.

Tidak diketahui secara pasti alasan pemindahan ibukota kerajaan. Namun diduga bahwa, telah ada sebuah gerakan oposisi yang bermaksud untuk mengkudeta Raja. Kekuatan pemberontak tersebut berasal dari pedalaman Batak. Kerajaan memang sudah mengalami kegoncangan setelah sebelumnya bebeberapa kerajaan kecil yang menjadi subordinat telah memilih memisahkan diri.

Sang Raja VII mempunyai beberapa panglima di antaranya seorang panglima yang sangat tangguh yang juga kebetulan adalah kemenakannya sendiri. Putra dari seorang saudari perempuannya, Boru Pasaribu. Dia bernama Mahkuta alias Mahkota yang dikenal di kalangan Batak dengan sebutan Manghuntal putra seorang ayah bermarga Sinambela dari pusat Batak. Dia dididik di istana kerajaan dan menjadi Panglima yang menguasai matra Angkatan Darat dan Laut.

Ketika Portugis pertama sekali menyerang daerah tersebut, Panglima Mahkuta memimpin bala tentaranya dan memenangkan peperangan tersebut. Selain mendapat serangan dari pihak luar, kerajaan juga mendapat pemberontakan di dalam negeri.

Mahkuta kemudian diperintahkan untuk menumpas pemberontakan di sentral Batak tersebut. Dalam usahanya menumpas pemberontak, di ibukota kerajaan terjadi kudeta dan perebutan kekuasaan. Kerajaan terpecah dalam kerajaan-kerajaan kecil. Mahkuta alias Manghuntal mendirikan Dinasti Sinambela (Sisingamangaraja) di Bakkara.

Sementara itu, komunitas Pasaribu di Barus, para keturunanan Raja Uti, meneruskan hegemoni Dinasti Pasaribu dengan naiknya Sultan Ibrahimsyah Pasaribu menjadi Sultan di Barus Hilir. Ada pendapat sejarah yang mengatakan bahwa Sultan Ibrahimsyah Pasaribu adalah orang yang memberi kekuasaan kepada Manghuntal, Mahkuta, untuk mendirikan kerajaannya di Bakkara. Dengan demikian dialah yang bergelar Raja Uti VII tersebut (?).

Selain nama-nama di atas, berikut adalah nama-nama Dinasti Hatorusan berikutnya:

1. Sultan Ibrahimsyah Pasaribu (Gelar Raja Hatorusan). Wafat 1610 Masehi.
2. Sultan Yusuf Pasaribu
3. Sultan Adil Pasaribu
4. Tuanku Sultan Pasaribu
5. Sultan Raja Kecil Pasaribu
6. Sultan Emas Pasaribu
7. Sultan Kesyari Pasaribu
8. Sultan Main Alam Pasaribu
9. Sultan Perhimpunan Pasaribu
10. Sultan Marah Laut bin Sultan Main Alam Pasaribu pada tahun 1289 rabiul akhir atau pada tanggl 17 Juni 1872 menuliskan kembali Sejarah Tuanku Badan (Tambo Barus Hilir) yang menceritakan silsilah kerajaan Hatorusan di Barus, dari sebuah naskah tua peninggalan leluhurnya yang hampir lapuk.



DINASTI PARDOSI (TUANKU DI HULU)

Dinasti yang memerintah di Barus Hulu yang mencakup beberapa daerah tanah Batak bagian barat termasuk Negeri Rambe (Pakkat). Didirikan oleh Raja Alang Pardosi dengan penahunan yang tidak jelas namun diyakini berdiri sejak awal-awal berdirinya kerajaan si Raja Batak di Tanah Batak, yakni lebih kurang tahun 1000 SM.

1. Raja Kesaktian (di Toba)
2. Alang Pardosi pindah ke Rambe dan mendirikan istana di Gotting, Tukka
3. Pucaro Duan Pardosi di Tukka
4. Guru Marsakot Pardosi di Lobu Tua
5. Raja Tutung Pardosi di Tukka
6. Tuan Namora Raja Pardosi
 Ada gap yang lama, raja-raja difase ini tidak terdokumentasi
7. Raja Tua Pardosi
8. Raja Kadir Pardosi (Pertama masuk Islam)
9. Raja Mualif Pardosi
10. Sultan Marah Pangsu Pardosi (700-an Hijriyah)
11. Sultan Marah Sifat Pardosi
12. Tuanku Maraja Bongsu Pardosi (1054 H)
13. Tuanku Raja Kecil Pardosi
14. Sultan Daeng Pardosi
15. Sultan Marah Tulang Pardosi
16. Sultan Munawar Syah Pardosi
17. Sultan Marah Pangkat Pardosi (1170 H)
18. Sultan Baginda Raja Adil Pardosi (1213 H)
19. Sultan Sailan Pardosi (1241 H )
20. Sultan Limba Tua Pardosi
21. Sultan Ma’in Intan Pardosi
22. Sultan Agama yang bernama Sultan Subum Pardosi
23. Sultan Marah Tulang yang bernama Sultan Nangu Pardosi (1270 H)

Sumber: Naskah Jawi yang dialihtuliskan dari kumpulan naskah Barus dan dijilidkan lalu disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan no. ML 16. Dalam Katalogus van Ronkel naskah ini yang disebut Bat. Gen. 162, dikatakan berjudul “Asal Toeroenan Radja Barus”. Seksi Jawi pertama berjudul “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus.


DINASTI SINAMBELA (SISINGAMNGARAJA di BAKKARA)

SM Raja I adalah turunan dari Oloan dari marga Sinambela. Dinasti SM Raja adalah sebagai berikut:

1. Raja Sisingamangaraja I dengan nama asli Raja Mahkota atau Raja Manghuntal memerintah tahun 1540 s.d. 1550
2. SM Raja II, Raja Manjolong gelar Datu Tinaruan atau Ompu Raja Tinaruan memerintah 1550 s.d 1595
3. SM Raja III, Raja Itubungna, 1595-1627
4. SM Raja IV, Tuan Sorimangaraja 1627-1667
5. SM Raja V, Raja Pallongos, 1667-1730
6. SM Raja VI, Raja Pangolbuk, 1730-1751
7. SM Raja VII, Ompu Tuan Lumbut, 1751-1771
8. SM Raja VIII, Ompu Sotaronggal, gelar Raja Bukit 1771-1788
9. SM Raja IX, Ompu Sohalompoan, Gelar Datu Muara Labu, 1788-1819
10. SM Raja X, Aman Julangga, Gelar Ompu Tuan Na Bolon, 1819-1841
11. SM Raja XI, Ompu Sohahuaon, 1841-1871
12. SM Raja XII, Patuan Bosar, gelar Ompu Pulo Batu, 1871-1907

Raja Uti VII bernama Datu Mambang Di Atas, memerintah kerajaan Hatorusan di tanah Batak pesisir. Selama pemerintahan Raja Uti VII yang berkedudukan di Aceh (Singkil sekitarnya), berbagai pemberontakan dari dalam negeri meningkat.

Gerakan oposisi tersebut bermaksud untuk mengkudeta Raja. Kekuatan pemberontak terdapat di pedalaman Batak disebutkan dari marga Manullang. Kerajaan memang sudah mengalami kegoncangan setelah sebelumnya beberapa kerajaan kecil yang menjadi subordinat telah memilih memisahkan diri, khususnya mereka yang di wilayah timur kerajaan (Sumatera Timur).

Sang Raja Uti VII mempunyai beberapa panglima di antaranya seorang panglima yang sangat tangguh yang juga kebetulan adalah kemenakannya sendiri. Putra dari seorang saudari perempuannya, Boru Pasaribu. Dia bernama Mahkuta alias Mahkota yang dikenal di kalangan Batak dengan sebutan Manghuntal putra seorang ayah bermarga Sinambela dari pusat Batak. Dia dididik di istana kerajaan dan menjadi Panglima yang menguasai matra Angkatan Darat dan Laut.

Panglima tersebut yang diangkat sebagai putra mahkota kerajaan dikenal juga sebagai Manghuntal karena proses kelahirannya yang persis saat badai dan gempa melanda Bakkara, sebuah kota di pedalaman Batak.

Ayahnya marga Sinambela, merupakan seorang intelektual lokal, Datu Sinambela, yang menguasasi berbagai disiplin ilmu astronomi, hukum dan undang-undang adat dll, dan ibunya boru Pasaribu merupakan elit di kota tersebut. Sinambela merupakan raja huta di daerah tersebut. Keanehan terjadi ketika Boru Pasaribu mengandung Manghuntal selama bertahun-tahun. Tidak seperti normalnya bayi selama sembilan bulan. Suaminya kemudian menghubungi seorang Datu dan diketahui bahwa ada keajaiban pada jabang bayi, dan akan melahirkan setelah empat tahun. Empat tahun kemudian, sang bayi dilahirkan pada saat angin topan dan gempa bumi terjadi di huta tersebut. Dia kemudian dinamakan Manguntal atau yang bergetar. Dia kemudian dibesarkan di istana Raja Uti VII.

Ketika Portugis pertama sekali menyerang Kerajaan Hatorusan, Panglima Mahkuta atau Manghuntal memimpin bala tentaranya dan memenangkan peperangan tersebut.

Mahkuta kemudian diperintahkan untuk menumpas pemberontakan di sentral Batak. Dalam usahanya menumpas pemberontak, di ibukota kerajaan terjadi kudeta dan perebutan kekuaraan. Praktis Dinasti Uti pun berakhir dan lenyap. Pusat Kerajaan Hatorusan di Aceh diperkirakan berakuisisi dengan Kesultanan Aceh. Di Singkil sampai sekarang masih terdapat kelompok-kelompok keturunan Batak.

Mahkuta yang kemudian mendengar berita tersebut tidak senang dengan perubahan politik ini. Apalagi dia mendapat berita bahwa tahta kerajaan Batak telah diberikan kepadanya. Setelah berhasil menumpas pemberontakan di tanah Batak, dia memilih untuk mendirikan kerajaan baru di wilayah tersebut dengan ibukota Bakkara, tempat muasal leluhurnya.

Transfer kedaulatan Batak dimanifestasikan dalam tujuh simbol kerajaan yang diberikan kepada Manghuntal. Ketujuh simbol tersebut adalah pisau (knife), spear (tombak), sorban atau surban (turban), ikat-scarf, mat (sejenis lapik), jug (kendi) dan gajah putih. Legenda gajah putih ini sebagai lambang kebesaran Raja-raja Uti juga terkenal sampai ke Aceh. Legenda tersebut sekarang ini diabadikan menjadi nama sebuah universitas: Universitas Gajah Putih di Takengon.

Mahkuta menjadi raja pertama dengan gelar Sisingamangaraja I (SM Raja) pada tahun 1540 Masehi. Sebagai seorang bermarga Sinambela dari Toga Sumba, berbeda dengan Raja Uti yang Pasaribu dari Kubu Tatea Bulan, Mahkuta sebenarnya telah memulai sebuah dinasti baru yakni dinasti SM Raja yang memerintah Batak sampai SM Raja XII. Walaupun begitu, sebagai pendiri spiritual Batak, Raja Uti dan keturunanya, sampai abad ke-20, masih dimuliakan dan mendapat tempat terhormat dalam doa-doa. Bila Dinasti SM Raja mendapat kesulitan dalam urusan dalam negerinya, perwakilan dari Raja-raja Uti kerap dihadirkan untuk menjadi penengah.

Raja SM Raja XII, sebagai penghargaan terhadap usahanya mengusir si Bottar Mata, penjajah Belanda, dianugerahi Pahlawan Nasional Indonesia dengan keputusan Presiden RI No. 590 Tanggal 9 November 1961.

Peta politik di masyarakat terpecah dua. Kompetisi dan persaingan antara dua kubu Batak; Kubu Sumba dan Tatea Bulan. Kubu Tatea Bulan sebagai tertua dan banyak keturunannya menjadi raja-raja di luar pedalaman Batak.

Raja Manghuntal atau Raja Mahkota bergelar Sisingamangaraja I memerintah sentral Tanah Batak selama 10 tahun menurut stempel (cap kerajaan) yang bertahun 947 H dan berakhir dalam tahun 957 Hijriyah atau dalam tahun 1540 s.d 1550 M. (Diambil dari informasi L. van Vuuren, Samosir en de Pakpaklanden, Nota 1907).

Manghuntal mulai menata kembali kehidupan masyarakat. Untuk mengakomodasi berbagai kepentingan dan pertikaian antar kelompok masyarakat, dia berkoalisi dengan dengan tetua di Bakkara. Mereka, yang menjadi perwakilan tersebut diangkat sebagai anggota kabinet di pemerintahan, adalah raja-raja dari si Onom Ompu; Kelompok Bakkara, Sihite, Simanullang, Sinambela, Simamora dan Marbun.

Masing-masing keluarga ini didelegasikan beberapa wewenang. Setiap mereka diberi simbol kerajaan berupa barang pusaka yang didapat Manghuntal dari Kerajaan Hatorusan (Raja Uti VII).

Di samping itu, di juga melakukan distribusi kerja yang jelas kepada para pembantunya; di antaranya lembaga Pande Na Bolon yang bertugas sebagai penasehat dan juga sebagai fasilitator antar daerah di dalam kerajaan. Jabatan bendahara kerajaan diberikan kepada marga Sihite. Untuk mengikat semua daerah kekuasaan dalam satu kesatuan yang utuh, dia melakukan berbagai pendekatan antara lain secara spiritual dengan membawa air dan tanah dari Bakkara.

Target pertamanya adalah dengan merangkul Humbang. Humbang merupakan daerah paling Barat kerajaan yang berpopulasi keturunan raja Sumba, sama dengan Manghuntal. Mereka itu berasal dari marga Sihombing dan Simamora. Di sana dia mengangkat dua perwakilannya; dalam institusi Raja Parbaringin, yaitu dari marga Simamora dan Hutasoit (Putra sulung Sihombing).

Dari Humbang dia pergi ke Silindung. Dia mengangkat raja na opat untuk daerah ini. Perbedaan institusi perwakilannya tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangn geografis dan politik saat itu. Hal yang sama dia melakukannya untuk daerah-daerah yang lain. Satu instusi lainnya adalah panglima wilayah. Sebuah daerah yang damai atau homogen akan berbeda dengan huta yang plural. Begitu juga daerah yang berbatasan langsung dengan luar kerajaan dengan yang berada di pusat kerajaan mendapat perwakilan yang berbeda.

Insting kepemimpinan yang dia warisi selama masih dididik di istama Raja-raja Uti membuatnya memahami betul langkah-langkh politik yang sesuai dengan karakter sebuah huta. Sikap ini dengan cepat dapat menyatukan masyarakat Batak yang berbeda-beda marga dan kepentingan hutanya. Egoisme, primordialisme huta dan fanatisme marga serta kebiasaan bertengkar orang-orang Batak ditundukkan dengan harmoni dan kebersamaan.

Selain di bidang politik, Manghuntal juga mendapat sambutan yang positif dari masyarakat. Masa kecil Manghuntal di Bakkar sebelum dididik di Istana Raja Uti VII yang baik sangat diingat oleh penduduk sebagai orang yang baik hati, tegas, suka menjauhi perbudakan, membayar utang orang-orang yang tidak mampu dan lain sebagainya membuat kharismanya menanjak.

Kewibawaan dan keharuman namanya menumbuhkan beberapa mitos di masyarakat mengenai pribadinya. Tidak diketahui siapa yang membuat mitos tersebut, tapi yang pasti pembuatnya adalah pengagum kepribadian Manghuntal. Beberapa mitos tersebut adalah:

Divine dan Holy; SM Raja dan keturunanya dianggap sebagai seorang yang mempunyai sifat ketuhanan dan suci. Dia juga dianggap sebagai maha sakti dan mempunyai banyak kelebihan.

Immortalitas juga disandingkan kepadanya sebagai raja yang "yang tidak pernah mati dan tua"-na so olo mate na so olo matua

Omniscient; Orang Batak percaya bahwa SM Raja mengetahui semua hal yang dikatakan dan dilakukan. Mempunyai sahala yang tinggi. Sahala yang dimaksud adalah kekuatan untuk menunjukkan kemampuan yang tinggi.

Manghuntal memerintah tidak dalam waktu lama. Sebelum putra mahkotanya, Manjolong, berumur dewasa, masih berusia 12 tahun, Manghuntal dikabarkan menghilang dan tidak pernah kembali lagi.


DINASTI SISINGAMANGARAJA DI KARO (GURU PATIMPUS)

Pada tahun 1540 M, Mahkuta atau Manghuntal yang menjadi Panglima di Kerajaan Hatorusan yang berpusat di Barus dan Singkel--ditugaskan menumpas pemberontakan di pedalaman Batak, setelah sebelumnya berhasil mengusir Portugis dari perairan Singkel, memerintah di tanah Batak sebagai Sisingamangaraja I. Kedaulatannya ditransfer oleh Raja Uti VII yang kehilangan kekuasaannya.

Pemerintahan Sisingamangaraja I, hanya berlangsung sepuluh tahun. Sebelum putra mahkotanya, Manjolong, berumur dewasa, masih 12 tahun, Manghuntal dikabarkan menghilang dan tidak pernah kembali lagi sekitar tahun 1550 M.

Orang-orang Bakkara dan lingkungan Istana percaya bahwa Sisingamangaraja menghilang diambil Mulajadi Nabolon ke langit atau menganggapnya sebagai kejadian gaib. Manjolong akhirnya diangkat menjadi Sisingamangaraja II.

Belakangan dari kitab-kitab kuno bangsa Batak Karo diketahui bahwa Sisingamangaraja I ternyata berada di tanah Karo paska menghilangnya raja dari Bakkara. Tidak disebutkan sebab-sebab migrasi Sisingamangaraja. Apakah dia frustasi dengan keadaan rakyatnya yang terus bertikai dan bertengkar, walau sudah dibujuk untuk damai dengan benda-benda pusaka Raja-raja Uti, tidak diketahui dengan pasti.

Tapi melihat riwayat-riwayat budi pekerti sosok Sisingamangaraja I yang anti- perbudakan, anti-rentenir sehingga selalu membayar utang para rakyat yang terlilit hutang dan lain sebagainya, membuatnya banyak memiliki musuh dari elit-elit yang suka mengeksploitasi rakyat. Permusuhan itu, tidak saja dari lingkungan istana tapi bahkan dari kerabatnya sendiri, misalnya namborunya, yang tidak menyukai kebijakannya tersebut.

Paska kepindahannya ke tanah Karo salah satu cucunya yang bernama Guru Patimpus mendirikan huta yang sekarang menjadi Ibukota Provinsi Sumatera Utara.

Nama medan merupakan sebuah desa yang dibangun oleh Guru Patimpus. Desa tersebut yang berfungsi sebagai ‘onan’ tempat berkumpulnya orang-orang dari berbagai penjuru untuk tujuan ekonomi, politik dan sosial. Onan itu berada di sebuah lapangan besar di mana diatasnya keramaian orang melakukan transaksi. Orang-orang Arab yang melihat peristiwa itu menyebut lapangan tersebut sebagai Maidan, lapangan luas, yang akhirnya menjadi Medan dalam lidah melayu.

Nama Medan dikenal berbeda-beda dalam sejarah, sesuai dengan perubahan penguasa atas kawasan ini. Kesultanan Haru, terdiri dari orang Karo yang menjadi prajurit Aceh, pernah menguasasinya dan medan lebih dikenal dengan Haru. Dominasi orang Haru diruntuhkan oleh orang Aceh dan mengangkat orang melayu menjadi pemimpin di daerah tersebut. Maka kemudian dikenal juga nama Ghuri dan Deli di tangan orang Melayu yang diangkat oleh Aceh dan dipengaruhi oleh budaya India Dehli sekarang dikenal Delhi.

Menurut riwayat Hamparan Perak salah seorang putera dari Sisingamangaraja bernama Tuan Si Raja Hita mempunyai seorang anak bernama Guru Patimpus pergi merantau ke beberapa tempat di Tanah Karo dan merajakan anak-anaknya di kampung–kampung: Kuluhu, Paropa, Batu, Liang Tanah, Tongging, Aji Jahe, Batu Karang, Purbaji, dan Durian Kerajaan. Kemudian Guru Patimpus turun ke Sungai Sikambing dan bertemu dengan Datuk Kota Bangun.

Menurut Datuk Bueng yang tinggal di Jl. Kertas Medan dia mempunyai dokumen tua dalam bentuk lempeng–lempeng. Menurut trombo yang ada padanya Raja–raja 12 Kuta (Hamparan Perak) adalah :

Dinasti Sisingamangaraja I, setelah menghilang dari Bakkara.

1. Sisingamangaraja I, Lahir di Bakkara, dibesarkan di Istana Raja Uti VII (Pasaribu Hatorusan) di Singkel, menjadi raja Batak di Bakkara paska menumpas pemberontakan memerintah di tahun 1540-1550 M, lalu menghilang. Diketahui kemudian dia pergi ke tanah Karo.
2. Tuan si Raja Hita (Sinambela)
3. Guru Patimpus (Sinambela), masuk Islam dan pada tanggal 1 Juli 1590, mendirikan kota Medan.
4. Datuk Hafiz Muda (Sinambela)
5. Datuk Muhammad Syah Darat (Sinambela)
6. Datuk Mahmud (Sinambela)
7. Datuk Ali (Sinambela)
8. Banu Hasim (Sinambela)
9. Sultan Seru Ahmad (Sinambela)
10. Datuk Adil (Sinambela)
11. Datuk Gombak (Sinambela)
12. Datuk Hafiz Harberhan (Sinambela)
13. Datuk Syariful Azas Haberham (Sinambela).

Berdasarkan bahan–bahan dari Panitia Sejarah Kota Medan (1972) termasuk Landschap Urung XII Kuta, ini dapat dilihat dari trombo yang disalin dalam tulisan Batak Karo yang ditulis di atas kulit–kulit Alin. Trombo ini mengisahkan Guru Patimpus lahir di Aji Jahei. Dia mendengar kabar ada seorang datang dari Jawi (bahasa Jawi bahasa Pasai Aceh, kemudian dikenal dengan bahasa Melayu tulisan Arab. Orang yang datang dari Jawi itu adalah orang dari Pasai keturunan Said yang berdiam di kota Bangun. Orang itu sangat dihormati penduduk di Kota Bangun kemudian diangkat menjadi Datuk Kota Bangun yang dikenal sangat tinggi ilmunya. Banyak sekali perbuatannya yang dinilai ajaib-ajaib.

Guru Patimpus sangat ingin berjumpa dengan Datuk Kota Bangun untuk mengadu kekuatan ilmunya. Guru Patimpus beserta rakyatnya turun melalui Sungai Babura, akhirnya sampailah di Kuala Sungai Sikambing. Di tempat ini Guru Patimpus tinggal selama 3 bulan, kemudian pergi ke Kota Bangun untuk menjumpai Datok Kota Bangun. Konon ceritanya dalam mengadu kekuatan ilmu, siapa yang kalah harus mengikuti yang memang. Dalam adu kekuatan ini, berkat bantuan Allah SWT Guru Patimpus kalah dan dia memeluk agama Islam, sebelumnya beragama Perbegu.

Dia belajar agama Islam dari Datuk Kota Bangun. Dia selalu pergi dan kembali ke Kuala Sungai Sikambing pergi ke gunung dan ke Kota Bangun melewati Pulo Berayan yang waktu itu di bawah kekuasaan Raja Marga Tarigan keturunan Panglima Hali. Dalam persinggahan di Pulo Berayan, rupanya Guru Patimpus terpikat hatinya kepada puteri Raja Pulo Berayan yang cantik. Akhirnya kawin dengan puteri Raja Pulau Berayan itu, kemudian mereka pindah dan membuka hutan kemudian menjadi Kampung Medan. Setelah menikah, Patimpus dan istrinya membuka kawasan hutan antara Sungai Deli dan Sungai Babura yang kemudian menjadi Kampung Medan. Tanggal kejadian ini biasanya disebut sebagai 1 Juli 1590, yang kini diperingati sebagai hari jadi kota Medan.

Putera Guru Patimpus Hafal Al-Qur'an

Dari perkawinan dengan puteri Raja Pulo Berayan lahirlah dua orang anak lelaki, seorang bernama Kolok dan seorang lagi bernama Kecik. Kedua putera Guru Patimpus ini pergi ke Aceh untuk belajar agama Islam. Kedua putera Guru Patimpus ini hafal Al Qur'an, karena itu Raja Aceh memberi nama untuk yang tua Kolok Hafiz, dan adiknya Kecik Hafiz.

Menurut trombo yang ditulis dalam bahasa Batak Karo di atas kulit Alin itu, Hafiz Muda kemudian menggantikan orang tuanya Guru Patimpus, menjadi Raja XII Kuta. Putera Guru Patimpus dari ibu yang lain bernama Bagelit turun dari gunung menuntut hak dari ayahandanya yaitu daerah XII Kuta. Setelah puteranya Bagelit memeluk agama Islam daerah XII Kuta yang batasnya dari laut sampai ke gunung dibagi dua. Kepada Bagelit diberi kekuasaan dari Kampung Medan sampai ke gunung. Akhirnya kekuasaan Bagelit dikenal dengan Orung Sukapiring. Sedangkan Hafiz Muda tetap menjadi Raja XII Kuta berkedudukan di Kampung Medan. Waktu itu Medan adalah sekitar Jalan Sungai Deli sampai Sei Sikambing (Petisah Kampung Silalas). Guru Patimpus dan puteranya Hafiz Muda yang menjadikan Kampung Medan sebagai pusat pemerintahannya.

Menurut trombo dan riwayat Hamparan Perak (XII Kuta) Guru Patimpus belajar agama Islam pada Datuk Kota Bangun. Menurut catatan sejarah Datuk Kota Bangun adalah seorang ulama besar, tapi tidak disebut namanya. Apakah Datuk Kota Bangun itu adalah Imam Siddik bin Abdullah yang meninggal 22 Juni 1590? Pertanyaan ini barang kali ahli sejarah dapat menjawabnya. Di masa dulu ulama–ulama besar lebih dikenal dengan menyebut nama tempat ulama itu berdomisili.

Menurut Prof. J.P. Moquette dan Tengku Luckman Sinar, SH, makam Imam Siddik bin Abdullah terdapat di Perkebunan Klumpang. Pada batu nisannya tertulis ulama dari Aceh Imam Siddik bin Abdullah meninggal 23 Syakban 998H (22 Juni 1590)

BELANDA tercatat pertama kali masuk di Deli tahun 1641, ketika sebuah kapal yang dipimpin Arent Patter merapat untuk mengambil budak.

Selanjutnya, hubungan Deli dengan Belanda semakin mulus. Tahun 1863 Kapal Josephine yang membawa orang perkebunan tembakau dari Jawa Timur, salah satunya Jacobus Nienhuijs, dari Firma Van Den Arend Surabaya mendarat di Kesultanan Deli. Oleh Sultan Deli, ia diberi tanah 4.000 bau untuk kebun tembakau, dan mendapat konsesi 20 tahun. Begitulah awal cerita, yang berlanjut dengan masuknya ribuan tenaga kerja Cina, India, dan akhirnya Jawa untuk menggarap perkebunan-perkebunan Belanda.

Menurut bahasa Melayu, Medan berarti tempat berkumpul, karena sejak zaman kuno di situ sudah merupakan tempat bertemunya masyarakat dari hamparan Perak, Sukapiring, dan lainnya untuk berdagang, berjudi, dan sebagainya. Desa Medan dikelilingi berbagai desa lain seperti Kesawan, Binuang, Tebing Tinggi, dan Merbau.

Medan sebagai embrio sebuah kota, di era penjajahan Belanda, secara kronologis berawal dari peristiwa penting tahun 1918, yaitu saat Medan menjadi Gemeente (Kota Administratif), tetapi tanpa memiliki wali kota sehingga wilayah tersebut tetap di bawah kewenangan penguasa Hindia Belanda.

Kota Administratif Medan dibentuk melalui lembaga bernama "Komisi Pengelola Dana Kotamadya", yang dikenal dengan sebutan Negorijraad. Berdasarkan "Decentralisatie Wet Stbl 1903 No 329", lembaga lain dibentuk yaitu "Afdeelingsraad Van Deli" (Deli Division Council) yang berjalan bersama Negorijraad sampai dihapuskan tanggal 1 April 1909, ketika "Cultuuraad" (Cultivation Council) dibentuk untuk daerah di luar kota.

Maka, tanggal 1 April 1909 ini sempat dijadikan tanggal lahir Kota Medan sampai dengan tahun 1975.

Pimpinan Medan Municipal Board saat didirikan tanggal 1 April 1909 (Stblt 1909 No 180) adalah Mr EP Th Maier, yang menjabat sebagai pembantu Residen Deli Serdang.

Namun, sejak 26 Maret 1975, lewat Keputusan DPRD No 4/ DPRD/1975 yang didasari banyak pertimbangan, ditetapkan bahwa hari lahir Kota Medan adalah 1 Juli 1590.

Melihat sekilas sejarah Kota Medan, tampak bahwa sejak zaman kuno, zaman Kerajaan Haru, Medan sudah menjadi tempat pertemuan berbagai kultur bahkan ras seperti Karo, Melayu (Islam), India, Mandailing, dan Simalungun. Sebagaimana terlihat dalam paparan di atas, proses itu bukannya berkurang, bahkan semakin kompleks sejak dibukanya perkebunan-perkebunan di Sumatera Utara yang menghadirkan kuli kontrak baik dari India, Cina, maupun Jawa.

Hingga saat ini, Medan, yang berarti tempat berkumpul tersebut, masih menjadi tempat berkumpul berbagai ras dan kultur yang berbeda-beda. Mengingat pengalamannya yang panjang sebagai melting pot, tidak heran jika hingga saat ini Medan masih dikenal sebagai daerah yang aman dari berbagai kerusuhan antaretnis. Semua ras dan etnis di sini tidak ada yang ingin menonjol atau saling menjatuhkan.

Dalam buku The History of Medan tulisan Tengku Luckman Sinar (1991), dituliskan bahwa menurut "Hikayat Aceh", Medan sebagai pelabuhan telah ada pada tahun 1590, dan sempat dihancurkan selama serangan Sultan Aceh Alauddin Saidi Mukammil kepada Raja Haru yang berkuasa di situ. Serangan serupa dilakukan Sultan Iskandar Muda tahun 1613, terhadap Kesultanan Deli.

Sejak akhir abad ke-16, nama Haru berubah menjadi Ghuri, dan akhirnya pada awal abad ke-17 menjadi Deli. Pertempuran terus-menerus antara Haru dengan Aceh mengakibatkan penduduk Haru jauh berkurang. Sebagai daerah taklukan, banyak warganya yang dipindahkan ke Aceh untuk dijadikan pekerja kasar.

Selain dengan Aceh, Kerajaan Haru yang makmur ini juga tercatat sering terlibat pertempuran dengan Kerajaan Melayu di Semenanjung Malaka. Juga dengan kerajaan dari Jawa. Serangan dari Pulau Jawa ini antara lain tercatat dalam kitab Pararaton yang dikenal dengan Ekspedisi Pamalayu.

Dalam Negarakertagama, Mpu Prapanca juga menuliskan bahwa selain Pane (Panai), Majapahit juga menaklukkan Kampe (Kampai) dan Harw (Haru).

Berkurangnya penduduk daerah pantai timur Sumatera akibat berbagai perang ini, lalu diikuti dengan mulai mengalirnya suku-suku dari dataran tinggi pedalaman Sumatera. Suku Karo yang bermigrasi ke daerah pantai Langkat, Serdang, dan Deli. Suku Simalungun ke daerah pantai Batubara dan Asahan, serta suku Mandailing ke daerah pantai Kualuh, Kota Pinang, Panai, dan Bilah.

Asal kata Deli untuk Kota Medan

Menurut Hikayat Deli, seorang anak raja satu kerajaan di India yang bernama Muhammad Dalik, perahunya tenggelam di dekat Kuala Pasai sehingga ia terdampar di Pasai, daerah Aceh sekarang.

Tidak lama sesudah ia datang di Aceh, Sultan Aceh mengalami kesulitan untuk menaklukkan tujuh laki-laki dari Kekaisaran Romawi Timur yang membikin kekacauan. Dalik berhasil membunuh para pengacau tersebut satu persatu.

Sebagai penghargaan atas keberhasilannya membunuh para pengacau tersebut, Sultan memberinya gelar Laksamana Kud Bintan dan menunjuknya sebagai Laksamana Aceh. Atas berbagai keberhasilannya dalam pertempuran akhirnya ia diangkat sebagai Gocah Pahlawan, pemimpin para pemuka Aceh dan raja-raja taklukan Aceh.

Beberapa tahun kemudian, Dalik meninggalkan Aceh dan membuka negeri baru di Sungai Lalang-Percut. Posisinya di daerah baru adalah sebagai wakil Sultan Aceh di wilayah bekas Kerajaan Haru (dari batas Tamiang sampai Sungai Rokan Pasir Ayam Denak) dengan misi, menghancurkan sisa-sisa pemberontak Haru yang didukung Portugis, menyebarkan Islam hingga ke dataran tinggi, serta mengorganisir administrasi sebagai bagian dari Kesultanan Aceh.

Untuk memperkuat posisinya ia menikahi adik Raja Sunggal (Datuk Itam Surbakti) yang bernama Puteri Nang Baluan Beru Surbakti, sekitar 1632 M.

Pengganti Gocah, anaknya yang bernama Tuanku Panglima Perunggit pada tahun 1669 M, memproklamasikan berdirinya Kesultanan Deli, di dalamnya termasuk kota Medan, yang terpisah dari Aceh, serta mulai membangun relasi dengan Belanda di Malaka.

Berdirinya Kesultanan Deli ini juga salah satu sebab mengapa Medan kemudian disebut Deli. Nama Deli sesungguhnya muncul dalam "Daghregister" VOC di Malaka sejak April 1641, yang dituliskan sebagai Dilley, Dilly, Delli, atau Delhi. Mengingat asal Gocah Pahlawan dari India, ada kemungkinan nama Deli itu berasal dari Delhi, nama kota di India.


DINASTI NAGUR (Simalungun & Gayo)

Pada tahun 600-1200 M, Komunitas Batak di Simalungun memberontak dan memisahkan diri dari Dinasti Batak, Dinasti Sorimangaraja di pusat. Mereka mendirikan kerajaan Nagur. Mereka ini keturunan Batak yang bermukim di Tomok, Ambarita dan Simanindo di Pulau Samosir. Di kemudian hari kerajaan Nagur berada di tangan orang Batak Gayo yang mendirikan kerajaan Islam Aceh.

Simalungun merupakan tanah yang subur akibat bekas siraman lava. Siraman lava dan marga tersebut berasal dari ledakan gunung berapi terbesar di dunia, di zaman pra sejarah. Ledakan itu membentuk danau Toba. Orang Simalungun berhasil membudidayakan tanaman, selain padi yang menjadi tanaman kesukaan orang Batak; Pohon Karet.

Hasil-hasil pohon karet tersebut mengundang kedatangan ras Mongoloid lainnya yang mengusir mereka dari daratan benua Asia; orang-orang Cina yang sudah pintar berperahu pada zaman Dinasti Swi, 570-620 M. Di antaranya Bangsa Yunnan yang sangat ramah dan banyak beradaptasi dengan pribumi dan suku bangsa Hokkian, suku bangsa yang dikucilkan di Cina daratan, yang mengekspor tabiat jahat dan menjadi bajak laut di Lautan Cina Selatan.

Kolaborasi dengan bangsa Cina tersebut membentuk kembali kebudayaan maritim di masyarakat setempat. Mereka mendirikan kota pelabuhan Sang Pang To di tepi sungai Bah Bolon lebih kurang tiga kilometer dari kota Perdagangan. Orang-orang dari Dinasti Swi tersebut meninggalkan batu-batu bersurat di pedalaman Simalungun.

Terdapat banyak kerajaan di Simalungun dengan dinasti-dinasti masing-masing. Contohnya adalah Dinasti Damanik dan lain sebagainya. Tapi secara umum kerajaan Nagur adalah yang paling awal eksis di Simalungun.

Kerajaan Nagur pernah dihancurkan oleh orang-orang Batak Karo yang mendirikan kerajaan Haru Wampu pada tahun 1200-1508 M. Namun, kerajaan Nagur tetap eksis di hulu sungai Pasai antara tahun 1200-1285. Marah Silu, Raja huta Kerajaan Nagur saat itu masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Sultan Malik Al Shaleh. Di atas puing-puing kerajaan Nagur tersebut, sang Raja, yang aseli Batak Gayo, berhasil melakukan ekspansi dan mendirikan Kerajaan Samudera Pasai sekaligus menjadikannya sebagai Sultan pertama.

Kerabat Sultan Malik Al Shaleh, yakni Syarif Hidayat Fatahillah merupakan tokoh yang mendirikan kota Jakarta dan menjadi Sultan Banten (Emeritus) dan ikut serta mendirikan Kesultanan Cirebon. Dia, yang dikenal sebagai Sunan Gunung Jati, adalah tokoh yang berhasil menyelamatkan penduduk pribumi dari amukan bangsa Portugis.

Sultan Malik Al Shaleh sendiri lahir di Nagur, di tanah Batak Gayo. Dia adalah mantan prajurit Kesultanan Daya Pasai. Sebuah kerajaan yang berdiri di sisa-sisa kerajaan Nagur atau tanah Nagur. Nama lahirnya adalah Marah Silu. Marah berasal dari kata Meurah yang artinya ketua. Sedangkan Silu adalah marga Batak Gayo.

Sepeninggalannya (1285-1296) dia digantikan oleh anaknya Sultan Malik Al Tahir (1296-1327). Putranya yang lain Malik Al Mansyur pada tahun 1295 berkuasa di barumun dan mendirikan Kesultanan Aru Barumun pada tahun 1299.

Malik Mansyur sangat berbeda keyakinannya dengan keluarganya yang sunni. Dia adalah penganut taat syiah yang kemudian menjadikan kesultanannya sebagai daerah syiah. Dengan demikian dia dapat dijadikan sebagai tokoh Batak Syiah (Gayo).

Kekuasaan Kesultanan Aru Barumun terletak di sekitar area sungai Barumun yang menjadi titik penting perdagangan antara Padanglawas sampai Sungai Kampar. Penghasilan negara didapat dari ekspor dan impor merica dan lain sebagainya.

Kesultanan Aru barumun berhubungan baik dengan pihak Cina pada era Dinasti Ming (1368-1643). Pada periode 1405-1425 beberapa utusan dari Cina pernah singgah, di antaranya Laksamana Ceng Ho dan Laksamana Haji Kung Wu Ping.

Dinasti Batak Gayo di Kesultanan Barumun adalah sebagai berikut:

1. Sultan Malik Al Mansyur (1299-1322)
2. Sultan Hassan Al Gafur (1322-1336)
3. Sultan Firman Al Karim (1336-1361), pada era nya banyak bertikai dengan kekuatan imperialis Jawa Majapahit. Di bawah panglima Laksamana Hang Tuah dan Hang Lekir, pasukan marinir Aru Barumun berkali-kali membendung kekuatan Hindu Majapahit dari Jawa.
4. Sultan Sadik Al Quds (1361). Wafat akibat serangan jantung.
5. Sultan Alwi Al Musawwir (1361-1379)
6. Sultan Ridwan Al Hafidz (1379-1407). Banyak melakukan hubungan diplomatik dengan pihak Cina
7. Sultan Hussin Dzul Arsa yang bergelar Sultan Haji. Pada tahun 1409 dia ikut dalam rombongan kapal induk Laksamana Cengho mengunjungi Mekkah dan Peking di zaman Yung Lo. Dia terkenal dalam annals dari Cina pada era Dinasti Ming dengan nama “Adji Alasa” (A Dji A La Sa). Orang Batak yang paling dikenal di Cina.
8. Sultan Djafar Al Baki (1428-1459). Meninggal dalam pergulatan dengan seekor Harimau.
9. Sultan Hamid Al Muktadir (1459-1462), gugur dalam sebuah pandemi.
10. Sultan Zulkifli Al Majid. Lahir cacat; kebutaan dan pendengaran. Pada tahun 1469, kesultanan Aru Barumun diserang oleh kesultanan Malakka, atas perintah Sultan Mansyur Syah yang memerintah antara tahun 1441-1476. Kota pelabuhan Labuhanbilik dibumihanguskan dan Angkatan Laut Kesultanan Aru Barumun dimusnahkan.
11. Sultan Karim Al Mukji (1471-1489)
12. Sultan Muhammad Al Wahid (1489-1512). Gugur dalam pertempuran melawan bajak laut Portugis.
13. Sultan Ibrahim Al Jalil (1512-1523) ditawan dan diperalat oleh Portugis.

Semua anggota dinasti di atas adalah bersuku Batak Gayo. Saat menurunnya kekuasaan Kesultan Aru, maka pihak Aceh mulai menancapka hegemoninya di Aru Barumun. Pihak Aceh berkompetisi dengan para bajak laut Eropa di kekosongan kekuatan politik di daerah tersebut.

Pada tahun 1802-1816, di bawah pimpinan Fachruddin Harahap, seorang Batak Mandailing, dengan gelar Baginda Soripada, penduduk khususnya dari Gunung Tua merebut bagian hulu dari bekas Kesultanan Aru Barumun. Semua lambang kerajaan disita termasuk cap dan simbol-simbol lainnya.

Sementara itu, pada tahun 1293-1339, Kerajaan Silo berdiri di Simalungun. Di Pihak lain, dengan dukungan dari Sultan Mansyur Syah I, Sultan Malakka 1441-1467, agama Islam mulai dikenal di Simalungun pada abad-15. Media pengenalan adalah melalui perdagangan dan interaksi sosial antar pedagang.

Orang-orang Simalungun yang di Kisaran, Tinjauan, Perdagangan, Bandar, Tanjungkasau, Bedagai, Pakam, Sungaikarang dan Bangunpurba masuk Islam.

Pada abad ke-20, masyarakat Simalungun menjadi korban kebijakan Devide Et Impera. Beberapa kerajaan diciptakan. Di antaranya, Kerajaan Dolok Silo, Kerajaan Raya Kahaen, Kerajaan Siantar dan Kerajaan Tanah Jawa.


DINASTI KARO (SIBAYAK)

Kerajaan Haru Wampu berdiri di tanah Karo antara tahun 1200-1508 selama 14 generasi. Pada tahun 1339, kerajaan ini pernah dijajah oleh Milisi Majapahit dari Jawa. Setelah pihak Majapahit diusir, giliran Sultan Ali Mukayyat Syah dari Aceh yang datang untuk menancapkan hegemoninya pada tahun 1508.

Pada tahun 1853, masyarakat Karo bangkit kembali mendirikan Kesultanan Langkat di puing-puing Haru Wampu atas pengakuan dari Sultan Ibrahim Mansyur Syah

Sementara itu di tahun 914 H/1508M, seorang pemuda Karo/Dusun yang masuk sebagai tentara Aceh dan sudah beragama Islam bernama Manang Sukka mendirikan Kerajaan Haru Delitua. Dia memakai gelar Sultan Makmun Al Rasyid I. Permaisurinya bernama Putri Hijau, saudara perempuan dari Sultan Mukayyat Syah.

Angkatan Bersenjata Portugis dari Malakka pata tahun 930 H/1523 M menggempur Kesultanan Haru Delitua. Mereka bergerak dan menyisir daerah yang bernama Labuhan Deli sampai Deli Tua sambil menembaki siapa saja manusia yang hidup di daerah tersebut.

Mereka menggempur pasukan Makmun Al Arsyid dengan persenjataan berat dan artileri. Pasukan Makmun Al Rayid dengan bantuan pasukan dari Aceh bertahan di Sukamulia dan semuanya tewas dalam pembantaian tersebut.

Pasukan pengawal istana kerajaan habis dibantai yang terdiri dari semua penduduk yang berjenis kelamin laki-laki. Permaisuri Putri Hijau dengan lima orang putrinya ditawan oleh pasukan keling di bawah tentara Portugis ini. Para kaum keling India ini berasal dari provinsi Goa di India barat. Pasukan tersebut juga didukung oleh orang-orang Macao, Cina. Para putri-putri tersebut menjadi korban kebiadaban perkosaan dari tentara-tentara bayaran tersebut.

Putri Hijau sambil berzikir diikat ke mulut sebuah meriam lalu diledakkan. Tubuhnya hancur lebur tanpa bentuk. Puntung dari meriam Portugis itu menjadi “Keramat Meriam Puntung”, sebuah relik bagi orang-orang Karo Dusun yang muslim.

Pada tahun 1853, Sultan Ibrahim Mansyur Syah, Sultan Aceh, mengangkat Wan Usman di Labuhan Deli dengan nama Sultan Usman Perkasa Alam menjadi Sultan Deli yang pertama. Diperkirakan identitas Batak Karo di kerajaan tersebut setelah itu mulai menurun. Identitas Melayu mulai diperkenalkan.

Sementara itu di tanah Karo pegunungan didirikan kerajaan Sibayak oleh pihak Belanda. Sebenarnya di pegunungan Sibayak telah berdiri kerajaan-kerajaan huta yang kecil yang otoritasnya hanya pada penduduk di satu kampung.

Upaya untuk menciptakan Kerajaan Sibayak yang bersatu dimulai oleh Belanda dalam rangka kebijaksanaan Devide Et Impera.

Di sana terdapat kerajaan yang bernama Kerajaan Lingga yang sejak dahulu kala eksis namun pengaruhnya tidak besar. Kerajaan Lingga ini juga kut serta dalam membentuk komunitas Batak Gayi dan Alas di Aceh.

Nama rajanya di masa Belanda adalah:

Raja Sendi Sibayak Lingga
Raja Kalilong Sibayak Lingga

Keduanya dipilih oleh Belanda dari beberapa raja lingga yang telah eksis berabad-abad tapi dalam bentuk kecil kerajaan-kerajaan desa.

Belanda memutuskan untuk mengkristenkan tanah Karo pegunungan dengan memerintahkan “Nederlandsche Zendings Genootschap” yang kristen protestan kalvinist. Akibatnya kini orang-orang Karo yang Kristen protestan kalvinist tidak mau bergabung, baik itu identitas maupun sosial, dengan orang-orang Toba yang Kristen protestan lutheran dalam HKBP.

Perbedaan identitas juga terdapat di dalam komunitas Karo. Mereka yang bermukim di tanah Karo pegunungan hingga tahun 1905 tetap masih menganut agama tradisional Batak. Dalam abad ke-20 mereka banyak menganut Kristen Protestan Kalvinis. Sementara itu orang Karo Dusun kebanyakan adalah muslim sejak masa kesultanan Haru Delitua (1508-1523).

Akibat penurunan identitas Karo menjadi Melayu banyak orang Karo yang muslim yang tidak mencantumkan marganya saat lahir. Kebangkitan identitas Karo akhirnya terjadi lagi pada era tahun 1950-an. Di mana banyak muslim Karo sudah mengenakan marganya kembali.


Sejarah Maritim Batak Kuno




Dalam sebuah karya tulisnya, Jaime Errazuriz menyebutkan bahwa terdapat peradaban produksi kertas yang berlipat di Amerika Tengah. Kemampuan membuat kertas tulis tersebut sangat mirip atau hampir sama dengan kemampuan yang dimiliki oleh orang Batak. Michael Coe, memberikan data yang lebih detail mengenai masalah ini. Setelah melakukan studi atas tulisan Dr. Paul Tolstoy dari Montreal University (‘Paper Route' published in Natural History 6/91).

Terdapat bukti-bukti yang sangat kuat mengenai eksistensi pelayaran kuno Bangsa Batak ke berbagai penjuru dunia yang menandakan abad keemasan ilmu pengetahuan dan peradaban Batak saat itu.

Jumat, 01 Agustus 2008

Proses Pembuatan Ulos di Toba

Pembuatan benang.

Proses pemintalan kapas sudah dikenal masyarakat batak dulu yang disebut “mamipis” dengan alat yang dinamai “sorha”. Sebelumnya hapas “dibebe” untuk mengembangkan dalam mempermudah pemintal membentuk keseragaman ukuran. Seorang memintal dan seorang memutar sorha. Kemudian sorha ini disederhanakan dengan mengadopsi teknologi yang dibawa oleh Jepang semasa penjajahan. Sorha yang lebih modern dapat melakukan pemintalan dengan tenaga satu orang.

Pewarnaan.

Ulos adalah sehelai kain tenunan yang dirangkai menggunakan motif khusus yang disebut “gatip”
Ulos itu terbuat dari benang, benang dipintal dari kapas. Benang awalnya berwarna putih, dan untuk mendapatkan warna merah disebut “manubar” dan untuk mendapatkan warna hitam disebut “mansop”.
Bahan pewarna ulos terbuat dari bahan daundaunan berbagai jenis yang dipermentasi sehingga menjadi warna yang dikehendaki. Bahan tambahan pewarnaan dari proses permwntasi ini disebut “Itom” yang pada era tahun 60 an masih ada ditemukan dipasaran toba.
Orang yang melakukan pewarnaan benang ini disebut “parsigira”

Gatip.

Rangkaian grafis yang ditemukan dalam ulos diciptakan pada saat benang diuntai dengan ukuran standard. Untaian ini disebut “humpalan”. Satuan jumlah penggunaan benang untuk bahan tenun disebut “sanghumpal, dua humpal” dst. Gatip dibuat sebelum pewarnaan dilakukan. Benang yang dikehendaki tetap berwarna putih, diikat dengan bahan pengikat terdiri dari serat atau daun serai.

Unggas.

Uanggas adalah proses pencerahan benang. Pada umumnya benang yang selesai ditubar atau disop, warnanya agak kusam. Benang ini diunggas untuk lebih memberikan kesan lebih cemerlang. Orang yang melakukan pekerjaan ini disebut “pangunggas” dengan peralatan “pangunggasan”.
Benang dilumuri dengan nasi yang dilumerkan kemudian digosok dengan kuas bulat dari ijuk. Nasi yang dilumerkan itu biasanta disebut “indahan ni bonang”.
Benang yang sudah diunggas sifatnya agak kenyal dan semakin terurai setelah dijemur dibawah sinar matahari terik.

Ani

Benang yang sudah selesai diunggas selanjutnya memasuki proses penguntaian yang disebut “mangani”. Namun untuk mempermudah mangani, benang sebelumnya “dihuhul” digulung dalam bentuk bola. Alat yang dibutuhkan adalah “anian” yang terditi dari sepotong balok kayu yang diatasnya ditancapkan tongkat pendek sesuai ukuran ulos yang dikehendaki. Dalam proses ini, kepiawaian pangani sangat menentukan keindahan ulos sesuai ukuran dan perhitungan jumlah untaian benang menurut komposisi warna.

Tonun

Tonun (tenun) adalah proses pembentukan benang yang sudah “diani” menjadi sehelai ulos. Mereka ini yang lajim disebut “partonun”.

Sirat

Proses terakhir menjadikan ulos yang utuh adalah “manirat”. Orang yang melakukan pekerjaan ini disebut “panirat”. Sirat adalah hiasan pengikat rambu ulos. Biasanya dibentuk dengan motif gorga.

Tautan:


Marga Simbolon adalah anak tertua dari si Raja Naiambaton yang lazim disebut "PARNA"
Anak-anaknya meneruskan nama kakeknya Simbolon, tapi ada juga yang memakai nama atau marga yang lain seperti : Tinambunan, Tumanggor, Turutan, Pinayungan, Maha, Nahampun.

Saat ini PENGURUS Punguan Simbolon & Boruna Jabotabek sedang menyusun Tarombo yang lebih komprehensif agar dimengerti oleh Generasi muda dimasa yang akan datang.
Untuk itu dihimbau bagi semua anggota Punguan Pomparan Raja Ompu Bolon Simbolon (PABOLON)dimanapun berada, diminta ikut berpartisipasi memberikan tarombo masing-masing ompu atau sohe ke Sekretariat PABOLON, Jl. Remaja No.20 Kel. Jati, Rawamangun, Jakarta Timur 13220 Telp./Fax. 021-4720522, e-mail:pabolon@email.com atau dengan mengisi "FORMULIR" Anggota.
Berikut ini sekilas tarombo marga Simbolon :

INDUK MARGA BATAK & CABANG-CABANGNYA


Siraja Batak punya dua anak:
I. Guru Tatea Bulan
II. Si Raja Isumbaon

Anak dari Guru Tatea Bulan : I.1 Saribu Raja
I.2. Limbong Mulana
I.3. Sagala Raja
I.4. Malau Raja

I.1 SARIBU RAJA:

I.1.1. Si Raja Lontung (Lontung Sisia sada Ina)
I.1.1.1. Toga Sinaga (Bonor, Ompu Ratus, Uruk)
2. Toga Situmorang (Pande, Lumban Nahor, Suhut ni Huta, Siringoringo, Rumapea, Sitohang)
3. Toga Pandiangan ( Pandiangan, Samosir, Gultom, Harianja, Pakpahan, Sitinjak)
4. Toga Nainggolan : a. Toga sibatu (Sibatuara, Parhusip)
b. Toga Sihombar (Lbn. Nahor, Lbn. Tungkup, Lbn. Raja, Lbn. Siantar, Hutabalian)
5. Toga Simatupang (Togatorop, Sianturi, siburian)
6. Toga Siregar (Silo, Dongoran, Silali/Ritonga/sormin, Siagian)
7. Toga Aritonang (Ompu Sunggu, Rajagukguk, Simaremare)

I. 1. 2. Si Raja Borbor :
(Pasaribu, Harahap, Parapat, Matondang, Sipahutar, Tarihoran, Saruksuk, Lubis, Batubara,
Pulungan,Hutasuhut, Daulay).

I. 2. LIMBONG : - Palu Onggang
- Langgat Limbong

I.3. SAGALA
(Hutaruar, Hutabagas, Hutaurat)

I.4. MALAU RAJA
(Pase, Nilambean, Manik&Damanik, Ambarita, Gurning)

Anak Dari Si Raja Isumbaon : II. 1. Tuan Sorimangaraja
II. 2. Si Raja Asiasi
II. 3. Sangkar Somalidang

II.1.1. Naimbataon atau PARNA (Parsadaan Raja Nai Ambaton)
II.1.1.1. Simbolon Tua (Simbolon, Tinambunan, Tumanggor, Turutan, Pinayungan, Maha, Nahampun)
2. Tamba Tua (Tamba, Sidabutar, Sidabalok, Siadari, Sijabat)
3. Munte Tua (Munte, Sitanggang, Sigalingging)
4. Saragi Tua (Saing, Simalango, Simarmata, Nadeak, Sidabungke, Rumahorbo, Sitio, Napitu)

II.1.2. NAIRASAON
II.1.2.1. Manurung
2. Sitorus
3. Sirait
4. Butarbutar

II.1.2.3. NAISUANON : * Tuan Sorba Dibanua
* Raja Tunggul
A. Tuan Sorba Dibanua
1. Sibagot Nipohan : a. Tuan Sihubil (Tampubolon)
b. Tuan Dibangarna (Panjaitan, Silitonga, Siagian, Sianipar)
c. Tuan Somanimbil (Siahaan, Simanjuntak, Hutagaol)
d. Sonak Malela (Simangunsong, Marpaung, Napitupulu, Pardede)
2. Sipaet Tua (Hutahaean, Aruan, Hutajulu, Sibarani, Sibuea, Pangaribuan, Hutapea)
3. Silahi Sabungan (Silalahi, Sihaloho, Situngkir, Sondi, Sinabutar, Sinabariba, Sinabang, Pintubatu,
Tambun, Tambunan)
4. Si Raja Oloan (Naibaho, Sihotang, Bakkara, Sinambela, Sihite, Manullang)

B. Raja Tunggul
1. Si Raja Sobu (Sitompul, Hasibuan, Hutabarat, Panggabean, Simorangkir, Hutagalung, Hutapea/Tobing)
2. Siraja Sumba : a. Sihombing (Silaban, Lumban Toruan, Nababan, Hutasoit)
b. Simamora (Purba, Manalu, Debataraja, Tuan Sumerhan)
3. Siraja Naipospos (Marbun: Lbn.Batu, Banjar Nahor, Lbn. Gaol, Sibagariang, Hutauruk,
Simanungkalit, Situmeang)

DAFTAR MARGA-MARGA ORANG BATAK & NIAS

Ajartambun Harefa Meha Saragi Sinurat
Akarbejadi Harianja Meliala Saragih Sinuraya
Ambarita Haro Mendrofa Saributua Sinusinga
Angkat Hasibuan Mismis Saruksuk Sipahutar
Aritonang Hasugian Muham Sarumpaet Sipanggang
Aruan Hulu Munthe Selangit Sipangkar
Babiat Hutabagas Nababan Sembiring Sipayung
Babo Hutabalian Nadapdap Seribu Sirait
Baeha Hutabangun Nadeak Siadari Sirandos
Bako Hutabarat Nahampun Siagian Siregar
Bahorok Hutagalung Nahulae Siahaan Siringkiron
Bakara Hutagaol Naibaho Siallagan Siringoringo
Banjarnahor Hutahaean Naiborhu Siambaton Sitanggang
Banjarkasi Hutajulu Nainggolan Siampapaga Sitepu
Bangkiang Hutapea Naipospos Sianipar Sitindaon
Bangun Hutasoit Nalu Sianturi Sitinjak
Bansin Hutasuhut Namasuro Sibabiat Sitio
Banuarea Hutaurat Namohaji Sibagariang Togatorop
Baringbing Hutauruk Napitu Sibangebange Sitohang
Baruara Jadibata Napitupulu Sibarani Sitompul
Barus Jambe Nasution Sibayang Sitorus
Basilan Jampang Ndruru Sibero Situa
Basirun Jawak Ompusunggu Siboro Situmeang
Batuara Jung Ongkor Siburian Situmorang
Batubara Jurung Padang Sibuaton Situngkir
Bawo Kabak Pakpahan Sibuea Solia
Benjerang Kaban Pandebayang Sidabalok Solin
Beringin Kacaribu Pandia Sidabutar Sormin
Berampu Kacinambun Pandiangan Sidabungke Sugihen
Berasa Karokaro Pane Sidahapintu Sukatendal
Berutu Kasilan Pangaribuan Sidari Surbakti
Binjori Keliat Panggabean Sidauruk Tamba
Bintang Keling Panjaitan Sidebang Tambak
Biru Keloko Parapat Sigalingging Tambunan
Boang_Manalu Kembaren Parbesi Sigiro Tampubolon
Bolahan Kemit Pardede Sihaloho Takar
Boliala Ketaren Pardosi Sihite Tanjung
Bondar Kian Parhusip Sihombing Tarigan
Bondong Kombara Parinduri Sihole Tarihoran
Brahmana Kudadiri Parmentin Sihotang Tegur
Bukit Laksa Pasaribu Sijabat Tekang
Bunuhaji Lambe Pase Silaban Telaumbanua
Butarbutar Lambosa Pasi Silaen Telun
Bu'ulolo Larosa Pelawi Silalahi Tendang
Capah Lase Pekan Silali Tinambunan
Cambo Lausan Pencawan Silitonga Tinendung
Cibero Lembong Penggarun Silo Torong
Colia Limbong Peranginangin Simaebang Tumangger
Daeli Lingga Perbesi Simalango Tumanggor
Dalimunthe Lubis Pinayungan Simamora Turnip
Damanik Lumbanbatu Pinem Simandalahi Turutan
Daparik Lumbangaol Pintubatu Simangunsong Ujung
Debataraja Lumbannahor Pohan Simanjorang Ulunjadi
Depari Lumbanpea Porti Simanjuntak Uwir
Daransi Lumbanraja Pulungan Simanungkalit Wuruwu
Dasopang Lumbansiantar Purba Simaremare Zai
Daulay Lumban_Tobing Pusuk Simargolang Zebua
Doloksaribu Lumbantoruan Rajagukguk Simarmata Zega
Dongoran Lumbantungkup Rambe Simarsoit Zendrato
Gaja Maha Ramu Simatupang
Ganagana Maharaja Rangkuti Simbolon
Garamata Malau Rea Simorangkir
Gea Maliam Ritonga Sinabariba
Gerneng Manalu Rumahorbo Sinabalok
Gersang Manihuruk Rumapea Sinabutar
Ginting Manik Rumasingap Sinaga
Girsang Mano Rumasondi Sinambela
Gorat Manullang Sabab Sinamo
Gulo Manurung Sagala Singarimbun
Gultom Marbun Saing Sinubulan
Gurning Marpaung Sambo Sinuhaji
Gurupatih Martumpu Samosir Sinulaki
Gurusinga Masaro Samusra Sinulingga
Habeahan Matanari Sapa Sinukaban
Halihi Matondang Sapiam Sinukapar
Harahap Matung Saraan Sinupayung

Pengingkaran Marga, Sebuah Tragedi Kepribadian Mirip Kasus Si Malin Kundang

Bagi orang Batak, marga adalah warisan yang bernilai sangat tinggi. Marga ibarat sebuah mahkota bagi seorang Batak (dalam tulisan singkat ini yang dibicarakan adalah Batak Toba), yang diwariskan leluhur secara alamiah (dengan sendirinya). Begitu seorang bayi Batak lahir, dia sudah langsung menyandang marga ayahnya, menurut sistem patrilineal yang dianut orang Batak. Dan itu sah, tidak akan ada suatu kekuatan apapun yang dapat mengingkarinya. Jika yang lahir adalah bayi laki-laki, maka dia menyandang marga ayahnya sebagai penerus marga ke generasi berikutnya.Dan kalau yang lahir bayi perempuan, dia juga akan menyandang marga ayahnya, meskipun (karena dia boru) marga itu tidak lagi berkelanjutan karena Batak tidak menganut sistem garis keibuan (matrilineal).

Ketika seorang boru Batak kawin dengan marga lain, status yang disandangnya menurut sistem Dalihan Natolu, adalah sebagai “boru” dan marga suaminya otomatis menjadi hula-hula. Makanya istilah ” na maranak marboru” di lingkungan Batak Toba, sangat strategis, tergantung konteks adat keseharian. Hari ini bisa dalam posisi boru, tapi lain waktu posisinya menjadi hula-hula atau dongan tubu. Bila yang melaksanakan hajatan adat adalah pihak marga saudara laki-laki, tentu posisi keluarga saudara perempuan adalah boru, dan pihak saudara laki-laki sebagai hula-hula. Hal itu suatu aturan yang absolut dalam frame (bingkai) Dalihan Natolu.

SEJARAH RAJA SIGALINGGING

SEJARAH RAJA SIGALINGGING

SEJARAH RAJA SIGALINGGING (sumber : ucok sigalingging)
Raja Batak mempunyai 2 (dua) orang anak yaitu :
  1. Raja Lontung
  2. Raja Sumba
Sementara Raja Sumba mempunyai 3 (tiga) orang anak :
  1. Raja Nabolon (Nai Ambaton)
  2. Raja Mangarerak (Nai Rasaon)
  3. Raja Tuan Sorba Dibanua (Nai Suanon)
Anak Raja Nai Ambaton ada 4 (empat) orang :
  1. Simbolon Tua
  2. Munthe Tua
  3. Tamba Tua
  4. Saragi Tua
Munthe Tua mempunyai 2 (dua ) orang anak yaitu :
  1. Op. Tanjabau bergelar Raja Pangururan
  2. Op. Tongging bergelar Raja Munthe.
Op. Tanjabau mempunyai 2 (dua) orang anak :
  1. Sitanggang
  2. Sigalingging
Anak Raja Sigalingging ada 3 :
  1. Guru Mangarissan dengan gelar Sigorak
  2. Raja Tinatea dengan gelar Sitambolang
  3. Namora Pangujian dengan gelar Parhaliang
Sejarah Guru Mangarissan dan Raja Tinatea

Putra Sulung Raja Sigalingging yaitu Guru Mangarissan mengerjakan dan mengusahakan semua hauma ( hauma = sawah – bhs Batak Toba ) yang berada di sekitar Huta Sigalingging ( Huta = Kampung , pada jaman dahulu huta dikelilingi oleh benteng besar yang bertujuan untuk menghindari serangan musuh dari kampung lain ataupun binatang buas ). Guru Mangarissan adalah petani ulung dan pekerja keras, sementara itu adiknya Raja Tinatea adalah nelayan atau “par Tao”, di tepian Danau Toba. Ikan hasil tangkapannya dijual ke Onan Pangururan. Pada jaman dahulu sistem perdagangan sudah mengenal sistem barter, di mana sesama petani maupun nelayan saling menukarkan hasil usahanya masing-masing sesuai dengan kesepakatan yang dibuat.

Pada suatu ketika Raja Sigalingging mengalami jatuh sakit, Guru Mangarissan memberitahu adiknya Raja Tinatea agar bersama-sama memberikan “Sipanganon” (makanan khusus yang ditujukan kepada orang yang sangat dihormati) kepada ayah mereka Raja Sigalingging. Guru Mangarissan sebagai putra sulung sangat menghormati orang tuanya. Oleh karena itu beras yang akan ditanak untuk dihidangkan kepada Raja Sigalingging harus dipilih tidak boleh ada beras yang patah atau pecah. Demikian hormatnya Guru Mangarissan kepada ayah mereka, nasi yang dihasilkan merupakan “Indahan Na Bottar “ ( Nasi putih ) yang berasal dari beras utuh.

Raja Tinatea juga membawa “Indahan” (Nasi), hasil dari keringatnya “Mardoton” ( mencari ikan ), dan nasi yang dibawanya tidak “saksak bottar” ( putih bersih ) , tetapi beras campuran yaitu beras merah dan beras biasa. Secara spontan Guru Mangarissan membentak adiknya dan berkata : “ inilah saatnya adat yang penting untuk memberi orang tua kita ‘marsipanganon’ tetapi kau hidangkan “indahan na mar bolang-bolang” (nasi yang bercampur-campur), sungguh engkau anak yang tidak berbakti”. Sembari berkata demikian Guru Mangarissan menendang nasi Raja Tinatea. Raja Tinatea tidak dapat berbuat apa-apa. Dia berkata kepada abangnya :” dia ma dohonon ku dahahang, ai ido pancarian dohot pancamontanku, dengke na dapot doton sian tao ido hu boan tu onan pasar, jala di tukkar mai dohot boras na binoan ni angka panuhor i. Ai so adong hauma hu ula jadi beha bahenonku dahahang na laho patupahon indahan songon na pinatupa mi, ai hasil ni hauma na niula mi do dipatupa ho na laho pangananon ni natua-tua ta . I do na tarbahen ahu tu jolo ni damang ba ima hupasahat na laho panganon ni damang , beha ma bahenon ndang tarpatupa au songon na pinarade ni dahahang i ,”. (“ Apa yang aku bisa perbuat bang , itu adalah hasil pekerjaanku, ikan hasil tangkapan ku yang aku tukarkan di pasar , mana ada sawah yang aku kerjakan , jadi aku tidak bisa berikan seperti apa yang abang berikan kepada orang tua kita , “). Ikan hasil tangkapan jala dari Danau Toba di bawa ke pasar. Di pasar ikan ditukarkan dengan beras. Misalnya : 1 liter ikan mujahir ditukar dengan 1 liter beras. Orang yang dating untuk barter membawa beras, ada beras merah dan ada beras putih. Raja Tinatea tidak mungkin memilih beras mana yang akan ditukarkan dengan ikan hasil tangkapannya/jalanya. Sehingga beras yang diperoleh bercampur baur (“Marbolang”) antara beras merah dan beras putih, itu yang menyebabkan nasi yang berasal dari beras merah dan beras putih menjadi Marbolang .

Melihat hal tersebut Raja Sigalingging menatap kedua anaknya dan berkata :” Anakku Mangarissan, tidak perlu engkau mempermasalahkan makanan yang dibawa Adikmu , sebab itulah yang mampu ia berikan ,”.

Masyarakat di kampung dan sekitarnya mengetahui kejadian tersebut, Terkabar bahwa Guru Mangarissan “manggorakkon” ( menyepelekan ) makanan yang dibawa Adiknya karena “marbolang” (berbelang-belang) , pada saat memberikan makanan kepada Raja Sigalingging dengan cara menendang makanan yang dihidangkan oleh adiknya. Masyarakat sekitar merasa bahwa tindakan Guru Mangarissan tidak pantas, mereka mencibir dan mencuekin Guru Mangarissan dengan berkata :,” hanya karena bercampur makanan yang dibawa adiknya , kemudian dia menendang makanan tersebut,”.

Akibat dari perbuatannya , masyarakat di sekitar Huta Sigalingging kurang hormat kepada Guru Mangarissan , sebaliknya Raja Tinatea banyak mendapat nasehat agar sabar menghadapi tingkah laku Abangnya.

Karena Guru Mangarissan merasa dijauhi, dicuekin dan dimusuhi oleh masyarakat sekitar dia merasa tertekan dan semakin lama merasa asing di tengah-tengah masyarakat Huta Sigalingging Sait Ni Huta dan Pangururan. Dengan segala kepahitan dan kegalauan Guru Mangarissan meninggalkan tanah kelahirannya. Guru Mangarissan pergi merantau jauh agar tidak mendengar cemoohan tentang dirinya dan dia tidak ingin bertemu dengan orang sekampungnya.

Kisah in berlangsung alamiah, maka dikemudian hari Raja Tinatea diberi gelar Si “Tambolang” , karena nasi yang ia hidangkan kepada orang tuanya berbelang-belang dan kepada Guru Mangarissan diberi gelar “Sigorak”, karena memperhatikan makanan yang dihidangkan oleh adiknya.

Sejarah Namora Pangujian Anak Raja Sigalingging nomor 3 yaitu Namora Pangujian dengan gelar “Parhaliang”, menurut hikayatnya lahir di Rianiate sebelah selatan kota Pangururan. Raja Sigalingging berkelana ke Rianiate, pada saat itu putrid raja penguasa Rianiate dalam keadaan sakit parah. Sudah banyak “Datu” , ( dukun ) , yang berupaya untuk menyembuhkan sang Putri namun tidak kunjung sembuh. Akhirnya seseorang menyampaikan pesan dan berita kepada Raja Rianiate, bahwa ada seorang dukun dari Sait Ni Huta Pangururan yang saat ini berada di desa Rianiate. Sang Raja memesan Raja Sigalingging untuk mengobati putrinya. Dengan rendah hati Raja Sigalingging mengeluarkan ilmu “Pandampolon” ( Pijat Refleksi ), dan memijat Putri Raja dengan ramuan yang ia buat. Seluruh tubuh putri raja harus dibalur dengan obat Raja Sigalingging, karena harus dibalur langsung ke tubuh putri raja, maka putri raja tidak boleh mengenakan pakaian.

Setelah beberapa minggu putri raja sehat seperti sedia kala, banyak “Pariban”, (anak Paman) yang meminang putri raja, tetapi tidak satupun berkenan dihati putrid raja. Akhirnya sang Raja memanggil putrinya dan menanyakan mengapa putri tidak menerima lamaran dan pinangan paribannya. Putri raja menyahut :” Bagaimana aku mau menerima lamaran dari “Pariban” ku, seluruh tubuhku telah dipijat oleh Raja Sigalingging ketika aku sakit, jadi aku tidak sanggup menerima lamaran “Pariban” ku ataupun laki-laki lain. Keadaan ini berlangsung lama, namun sang putri tidak kunjung mau menerima lamaran pria lain. Akhirnya Raja Rianiate memanggil Raja Sigalingging dan memohon agar mau mempersunting putrinya. Raja Sigalingging menjawab :,” Mohon maaf yang sebesar-besarnya Raja, saya telah berkeluarga dan saat ini telah mempunyai dua orang putra, jadi tidak mungkin aku memperistri putri raja,”. Namun putrinya berkeras tidak mau dipersunting oleh pria lain.

Akhirnya Raja Sigalingging diminta untuk mengawini putrid raja Rianiate, Raja Sigalingging mau dengan persyaratan “Parpadanan” (janji yang mengikat), bahwa hal ini tidak boleh diceritakan oleh siapapun kepada keluarga Raja Sigalingging di Sait Ni Huta Pangururan . Tapi kelak kalau ada keturunan dari putri Raja Rianiate harus mencari keluarga Raja Sigalingging di Sait Ni Huta Pangururan itupun kalau Raja Sigalingging telah wafat. Itu adalah janji/pesan yang ia katakan agar ia mau mempersunting putri raja Rianiate.

Maka pada pesta “Peletakan Batu Pertama Tugu Raja Sigalingging” di Huta Sigalingging Sait Ni Huta Pangururan, pada saat akan membunyikan “ Gondang Sabungan”, turunan Namora Pangujian parhaliang memaparkan kisah Raja Sigalingging di Rianiate, dan mereka menyatakan bahwa mereka adalah “anak ketiga” dari Raja Sigalingging sesuai dengan pesan Raja Sigalingging jaman dahulu, yang menyatakan bahwa mereka harus mencari kedua abangnya di Pangururan.

Hal ini diekspresikan pada tugu Raja Sigalingging “tangga na tolu”, (tiga tangga) yang menopang pilar tugu Raja Sigalingging ada sebanyak tiga, yang menggambarkan jumlah anak Raja

Sigalingging ada 3 orang yaitu :

  1. SIGORAK
  2. SITAMBOLANG
  3. SIPARHALIANG.
Silsilah Turunan Guru Mangarissan ( Sigorak ) Turunan Guru Mangarissan ( Sigorak ) ada 3 yaitu :
  1. O. Limbong turunannya : 1. O. Manalasa
  2. O. G. Sahuta
  3. O.G. Raulim
O. Bonar turunannya :
  1. D. Upar
  2. D. Abar
  3. D. Mangapa
  4. D. Arang / D. Agong
  5. D. Mangambit
  6. D. Haturian (+)
O. Bada turunannya :
  1. O. Tendang
  2. O. Banuarea
  3. O Manik ( Simsim/Pakpak)
  4. O. Bringin
  5. O. Gajah
  6. O. Brasa
SEJARAH OMPU BADA

Ada beberapa versi sejarah yang penulis peroleh tentang keberadaan dan eksistensi turunan O. Bada di daerah Manduamas (Tap. Tengah) seperti yang penulis uraikan :

Sejarah O. Bada ini dibuat dengan tulisan tangan St. Johan Sahala Tua Banuarea dengan gelar O. Jonaris Banuarea para tahun 1987. Buku sejarah O. Bada ini sangat bermanfaat dan banyak memberikan informasi yang sangat penting terutama bagi keturunan O. Bada.

Di samping ke enam marga tersebut di atas masih ada lagi marga Boangmenalu dan Bancin yang juga merupakan keturunan O. Bada.

Menurut data yang diperoleh oleh penulis bahwa O. Bada berasal dari Barus kemudian melaksanakan perjalanan, mengembara dan terakhir berdomisili di Parmonangan Pakkat.

TENDANG Asal muasal nama Tendang bermula ketika O. Bada bermukim di tepi Lae (sungai) Sinendang di daerah Boang Aceh Selatan. Hulu Lae Sinendang berasal dari Pakkat Sienemkuden dan Simsim. Karena anak pertama O. Bada lahir di tepi Lae Sinendang maka anak pertama tersebut diberi dengan nama TENDANG.

REA

Perkampungan O. Bada menggunakan benteng dengan parit keliling. Di depan perkampungan dibuat gerbang masuk yang disebut dalam bahasa Pakpak Pentu Rea, sedangkan di bagian belakang dibuat pintu keluar yang dalam bahasa Pakpak disebut Ekur – ekur. Pada suatu hari istri O. Bada merasa akan melahirkan sehhingga ia buru-buru pulang dari ladang. Sang ibu tidak sempat sampai keperkampungan dan lahirlah si bayi laki-laki di pintu gerbang masuk (Pentu Rea) perkampungan itu. Oleh karena itu nama putra itu disebut REA, yang kemudian menjadi BANUREA (tanpa a setelah huruf u) dan umumnya disebut BANUAREA .. Daerah asal Banuarea adalah Kec. Salak , Kab Dairi. MANIK.

Manik yang dimaksud pada uraian ini adalah MANIK PAKPAK yaitu dari daerah Kecupak dan Pengindar Kec. Salak, Kab. Dairi. Oleh karena itu sering disebut MANIK KECUPAK dan MANIK PENGIDAR berdasarkan asal muasalnya.

Pada saat ibundanya mengandung , O. Bada bertanya kepada istrinya siapakah kelak nama anak bila dilahirkan. Sang istri mengatakan si Polan, tetapi O. Bada tidak sepakat. Demikian juga bila sang suami mengajukan nama, maka sang istri tidak setuju. Sampai suatu ketika sang bayi lahir dan mereka saling bertanya siapa nama bayi ini. Si ibu berkata : itulah pada saat dia di “Kurungen Manik” (dalam kandungan), kita setuju sepakat namanya siapa. O. Bada menangkap dan merenungkan perkataan “MANIK”. Dia berkata kepada istrinya karena di kurungen manik kita belum sepakat maka setelah lahir dari kurungen manik kita beri dia bernama “MANIK”

PERMESAWARI Satu-satunya putri O. Bada adalah Permesawari kemungkinan kata berasal dari kata Permaisuri. Permesawari mempunyai dua anak yaitu : NALU yang kelak menjadi Boangmenalu tinggal di Salak Penanggalen Kampung Kuta Tengah, Kuta Payung, Kuta Jojong, Kec Salak Kab Dairi. Anak ke dua bernama BANCIN yang tinggal di Penanggalen Mbinanga Boang Kec. Salak dan Penanggalen Jehe di Boang Aceh Selatan (Lipat Kajang).

BRINGIN Pada suatu hari O. Bada pergi ke ladang untuk mencari sesuatu. Sekembalinya dari ladang di halaman rumahnya dia melihat tumbuh pohon bringin. Bringin itu menjadi pembicaraan dan pada saat itulah lahir anak O. Bada. Akhirnya bayi yang baru lahir tersebut diberi nama BRINGIN.

GAJAH Pada sat istri O. Bada akan melahirkan anaknya, O.Bada didatangi rombongan gajah. Rombongan gajah ini tidak merusak perkampungan hanya lewat saja dan pada saat itu lahirlah sang bayi. Peristiwa itu menjadi kenangan bersejarah maka dinamakanlah anak yang baru lahir itu si GAJAH.

BRASA

Pada saat sang bayi lahir, O. Bada mendapatkan hasil buruan seekor babi hutan yang sangat besar dalam bahasa Pakpak disebut “Uangkah Brasa” sehingga bayi yang baru lahir disebut “BRASA”.

RIWAYAT O. BADA Tulisan ini diperoleh dari Jater Usen Gajah (Op. Dian Damai ) dari Pasar Onan Manduamas.

Mpu Bada berasal dari Toba Pulau Samosir. Nama aslinya Sigorak Sigalingging sedangkan nama perantauan Mpu Bada , karena timbulnya perselisihan ( Mar bada) dengan adiknya Tambolang dan Parhaliang, terpaksa lari malam kemudian menukar nama agar jangan diketahui dimana ia berada. Di Samosir kawin dengan boru Sakkaraer (kemungkinan yang dimaksud adalah boru Naibaho Takkarain) anaknya di Samosir ada dua orang yaitu Juara Gajah dan Ucok

Sigorak merantua ke Dolok Sanggul dan kemudian kawin dengan boru Purba dan mendapat tanah warisan di si Risi-risi dan mempunyai keturunan di daerah ini. Ompu Sigorak kemudian merantau ke Barus dan kawin dengan boru Sultan Barus marga Pohan. O. Bada sanggup membunuh burung garuda dengan cara membuat lubang bulat seperti gua dan menyalakan api di dalam gua tersebut. Kemudian burung garuda datang dari arah laut untuk mencari makanan seperti : kerbau, kambing, manusia dll. Asap api yang mengepul dari mulut gua menarik perhatian burung garuda, asap api disambar, pada saat disambar O. Bada menebas leher burung tersebut, tujuh kali disambar tujuh kali lehernya ditebas. Akibatnya burung tersebut mati dan jatuh kedalam sungai , akibat bangkai burung garuda yang membusuk selama 6 bulan air sungai berbau busuk maka sungai tersebut diberi nama Aek Busuk hingga sekarang.

Raja Barus berjanji siapa sanggup membunuh burung garuda itulah jadi menantunya. O. Bada resmi menantu Raja Barus yang bermarga Pohan. Di Barus ia diberi tanah pembagian yang terletak di batas Barus hingga ke sebelah Cup-cup lae Cinendang sampai batas pasang surut pinggir laut. Di daerah ini tinggal ke enam anak O. Bada.

Batas tanah O. Bada dengan Barus Ranggitgit ditanami dengan giro-giro. Tumbuhan giro-giro ditanam lurus mulai dari pinggir laut hingga ke kaki gunung yang terletak dikampung si Rami-ramian. Batas ke gunung ditanami dengan kayu berdaling-daling yang disebut “Paluan Daling” sampai ke puncak gunung. Batas ke tanah Rambe yaitu turun ke bawah di kampung Adian ditanami sampilpil hingga ke tolping. Di daerah ini katak siang malam bersuara terus menerus sehingga di sebut Kerrak-kerrak. Batas tanah dengan Marbun ditanami dengan bulu aor yang berbaris-baris. Batas tanah dengan meka Mungkur Namo merupakan perjanjian antara Homang dengan Manusia ditanami dengan hotang sosa sampai ke gunung Lempurrah dan berbatas dengan tanah Berutu di Lae Cinendang.

II.1. 2.Silsilah Turunan Raja Tinatea ( Sitambolang ) Turunan Raja Tinatea ada 3 yaitu :

  1. Guru Sinalsal
  2. Datu Ronggur
  3. Guru Soalosan
  4. Ompu Gonti
1. Turunan Guru Sinalsal :. 1. O. Toganaibaho
  1. Raja Pande
  2. Datu Bandang

  3. O. Baliga
Raja Pande turunanya : 1. O. Binduan
  1. Guru Mangarissan
  2. O. Humuntal
Turunan Guru Mangarissan : 1. O. Tonggor Nihuta
  1. O. Sombaraja
  2. O. Pangalingling
2. O. Tonggotua ; O.Janingan O. Manualang 2. O. Humuntal : Soriate ; 1. O. Mangihutlan 2. O. Jarulan Datu Bandang -( 1. O. Panaluksuk : 1. Guru Tindandangan ; O. R. Sulu Bokkot Langgat Ulubalang O. Suaon O. Maripul G. Mangarunding 2. O. Marlait O. Marmiok O. Sikkiraja O. Barombon 2. Note : Turunan D. Ronggur ; data belum ada 3. Turunan G. Soalosan : O. Hutajulu ---à 1. O. Barita Na Gok : O. Danganon ( O. Julonggo) O. Haminjon O. Sanduduk O. Martiang 2. O. Barita Mopul : Najanggut Na Miseon Namora Tunggal Sabungan Mangolat Raja Niampu 3.2.1. Sejarah Ompu Sabungan Mangolat. Ompu Sabungan Mangolat merupakan anak ketiga dari O. Barita Mopul.

Menurut sejarah Batak bahwa asal muasal Batak berasal dari Sianjur Mula-mula di Limbong Samosir kaki Dolok Pusuk Buhit kampung Parik Sabungan, Huta Sijambur. Jadi asal mula si Raja Batak adalah Sianjur Mula-mula atau Sianjur Mula Tompa yang membelakangi pegunungan dan menghadap Toba. Turunan si Raja Batak banyak yang merantau ke negri seberang bermukim di sana hingga beberapa generasi dan menjadikan tempat tinggalnya menjadi “BONA BASOGIT “ (Kampung Halaman).

Sampai kepada generasi kita sekarang banyak turunan Batak yang pergi merantau hingga beranak cucu di tempat yang ia tuju.

Banyak faktor dan alasan yang menyebabkan banyak orang Batak meninggalkan kampung halamannya, ada yang disebabkan pertengkaran, kesalahan serta atas kehendak sendiri.

Si Raja Batak sangat terkenal , ada yang jadi guru maupun jadi dukun. Ada juga di antara mereka yang sifatnya jahat.

Tentang kepergian Ompu Sabongan Mangolat, sangat berbeda seperti alasan beberapa orang yang disebutkan di atas. Ompu Sabongan Mangolat sangat menyayangi putrinya. Yang ,,,,,,,,,,,,,,,, Sabungan Mangolat adalah Ompu So Haginjangan , nama ini yang dikenal bagi mereka yang tinggal di Pangaribuan.

Ompu So Haginjangan sangat terkenal dan banyak ilmu sampai ia digelari :”SI TAMBANG DUA RIBU – SI SONGSONG DUA RATUS”.

Ompu So Haginjangan mempunyai seorang adik perempuan yang bernama “ SINDAR MATA NI ARI “, parasnya sangat cantik dan baik hati. Ompunta So Haginjangan tinggal di Pangururan, dekat kampung Onan Runggu, Sosor pasir kampung Toga Pakpahan.

Toga Pakpahan mempunyai tiga orang anak, anak nomor dua bernama Parhuta Namora (Mora), Mora mempunyai seorang anak yaitu Parbona Raja yang mempunyai tiga orang anak yaitu : Panulampak, Datu Ronggur Diaji, porhas Manjunging. Datu Rongur Diaji ini yang dinamakan marga PAKPAHAN si ALA LALI, dan ini lah yang mengawini adik perempuan Ompu So Haginjangan yaitu Sindar Mata Ni Ari br Sigalingging dan mereka tinggal di Pangaribuan.

Datu Rongur Diaji adalah dukun besar, ia sering bepergian ke kampung lain untuk memperkenalkan kepintarannya bisa sampai berbulan-bulan, sementara Sindar Mata Ni Ari mempunyai keahlian bertenun .

Suatu ketika ketika Sindar Mata Ni Ari bekerja, dia selalu memperhatikan dua ekor elang yang sedang berkelahi. Kadang-kadang elang tersebut bertengger di pohon Bacang di mana Sindar Mata Ni Ari selalu bertenun. Burung elang tersebut saling patuk mematuk dari pagi hingga sore hari. Ketika hendak pulang ke rumah Sindar Mata Ni Ari sempat membersihkan badannya ke : “Mual Si Mata Ni Ari” (Air Si Mata ni Ari), sekalian mau mengambil air untuk dibawa kerumah. Tiba-tiba seekor elang yang sedang berkelahi tadi jatuh persis di depan Sindar Mata Ni Ari, kemudian ia menutup elang tersebut dengan kain sarung. Menurut adat istiadat yang berlaku, elang yang ditangkap Sindar Mata Ni Ari harus diberikan kepada Abang suaminya atau kepada Mertuanya agar mereka memasaknya. Setelah daging burung elang tersebut masak kemudian mertuanya memberi bagian berupa : kaki dan sayap kepada Sindar Mata Ni Ari. Sindar Mata Ni Ari sangat kecewa dengan pemberian abangnya, padahal ia yang mendapat burung elang tersebut. Ia beranggapan bahwa ini terjadi karena suaminya tidak berada di rumah, lantas ia menyimpan daging burung tersebut di dekat tungku masak. Perasaan Sindar Mata Ni Ari sangat terpukul, perlakuan abangnya ini sangat di luar adat, namun dia tidak berani mengatakannya.

Setelah Datu Ronggur DiAji pulang dari perantauan, Sindar Mata Ni Ari menyiapkan makanan suaminya, ia memberikan daging burung elang yang diberikan abangnya. Melihat makanan yang tersedia perasaan Datu Ronggur Di Aji berkecamuk, ada apa gerangan yang terjadi hingga lauk-pauk hanya ini ?. Namun Datu Ronggur Diaji tetap makan. Setelah mereka selesai makan, kemudian Sindar Mata Ni Ari menceritakan perihal burung elang yang ia dapat serta ‘sayap dan kaki” yang diberikan oleh abanya. Mendengar cerita tersebut Datu Ronggur Diaji kaget dan beranggapan bahwa perlakuan Bapak serta abangnya tidak pantas. Sejak saat itu Datu Ronggur Diaji berencana untuk pergi dari kampungnya. Datu Ronggur Diaji beserta istrinya telah sepakat untuk pergi ke kampung lain, adiknya yaitu Porhas Marjunging juga turut ikut.

Sebelum mereka berangkat terlebih dahulu mereka permisi dengan pihak keluarga Sigalingging. Mereka berangkat dari Pulau Samosir menggunakan sampan. Dari hari ke hari, bulan ke bulan perasaan Ompu Sohaginjangan dan Parbona Raja Pakpahan sangat khawatir. Sampai terdengar kabar bahwa keluarga Datu Ronggur Diaji tinggal di Parulubang di Purbatua. Melawan musuh Nainggolan dan dia menang disitu. Kemudian Ompu Sabungan Mangolat pergi ke Purbatua Parsoburan untuk menjumpai keluarga Datu Ronggur Diaji.

Ternyata Datu Ronggur Diaji tidak tinggal di Purbatua, walaupun dia telah menikah dengan Boru Nainggolan. Datu Ronggur Diaji langsung pergi ke Lobu Siregar menjumpai Sindar Mata Ni Ari dengan demikian Ompu Sabungan Mangolat tidak bertemu dengan Datu Ronggur Diaji. Ompu Sabungan Mangolat tidak bosan-bosannya mencari Datu Ronggur Diaji, dari kampung satu kekampung yang lain hingga ke Angkola – Habinsaran. Di Angkola Ompu Sabungan Mangolat tinggal disini ( Sibalanga ) sambil menunggu kabar keberadaan Datu Ronggur Diaji. Sementara itu Datu Ronggur Diaji terus berjalan dari kampung yang satu ke kampung yang sambil menunjukkan kepintarannya dan membantu orang-orang yang membutuhan pertolongannya. Hingga mereka sampai ke Pangaribuan dan menetap disini.

Ompu Sabungan Mangolat mempunyai tiga orang anak yaitu :

  1. Satu orang tinggal di Sabalanga, dia dan keturunannya digelari “MUNTHE SABALANGA”.
  2. Satu orang tinggal di “Huta Tonga Habinsaran” dan keturunannya digelari “MUNTHE POLLUNG”, dan dia mempunyai keturunan yang ditinggal di Botung.

Kabar tentang keberadaan Datu Ronggur Diaji yang menetap di Parsoburan didengar oleh Ompu Sabungan Mangolat yang kemudian mengutus salah seorang anaknya untuk menjumpai Datu Ronggur Diaji.

Kedatangan Ompunta ke Pangaribuan bermaksud menjumpai ,,,,,,, mereka tetap menggunakan marga Sigalingging salah satu keturunnya adalah orang tua dari Ompu Gonti, nenek dari Peterus Sigalingging ( Op. Togi ). Hal ini yang menyebabkan marga Sigalingging terdapat di Pakpahan – Pangaribuan, sampai saat ini sudah 9 (sembilan) generasi.

Pada saat pesta tugu “ Datu Ronggur Diaji dan Sindar Mata Ni Ari Br. Galingging “ di Pakpahan – Pangaribuan hadir utusan “Dongan Tubu” (semarga) Munthe Pollung dan Munthe Sabalanga. Menurut pengakuan mereka, yaitu Ompu “OJI” (Op. Oji – , sebab mereka yang datang sudah HAJI. Namun begitu mereka tetap menekankan bahwa Munthe Pollung dan Munthe Sibalanga sebenarnya adalah marga “SIGALINGGING”.

Di Humbang Ompu Sohaginjangan digelari RAJA ISANGANGA ( Raja Sanga ) dan dia mempunyai 4 (empat) anak yaitu :

  1. Janggut Namiseon
  2. . Namora Tunggal, raja yang sangat sakti. Namora Tunggal “mar Hula-hula “, (saudara dari pihak istri) dengan marga Lumban Toruan Hariara, pada masa itu Lumban Toruan sering bertengkar dengan semarganya , kemudian Lumban Toruan memimjan kuda Namora Tunggal yang bernama : “ SIPISTIK LANGIT”. Karena pertengkaran ini tentu saja membawa pengaruh kepada Namora Tunggal hingga ia keluar dari Humbang dan pergi ke Nagasaribu – Saribudolok daerah Simalungun. Setelah beberapa lama mereka tinggal di Nagasaribu kemudian datang marga Sinaga untuk meminta pertolongan. Marga Sinaga mengetahui hal ini dari marga Lumbantoruan yang mengatakan bahwa Namora Tunggal sangat sakti. Kemudian raja Sinaga menghadap Namora Tunggal dan dia bersedia membantu marga Sinaga, pendek cerita seluruh musuh marga Sinaga dikalahkan oleh Namora Tunggal. Atas jasanya marga Sinaga memberikan upah berupa tanah dan ia memperistri Br Sinaga. Begitulah hikayatnya hingga marga SIGALINGGING mempunyai kampung di NAGASARIBU / SARIBU DOLOK hingga saat ini.
  3. Ompu Sabungan Mangolat.
  4. Raja Niampu. Tinggal di Dolok Sanggul – Siambaton julu
II.1.3. Silsilah Turunan Namora Pangujian ( Parhaliang )
    Turunan Namora Pangujian :
  1. 1. O. Raja Ni Aji :
  2. 1. O. Raja Nape
  3. O. Tuan Nagoni
  4. 2. O. Isahal
  5. O. Juarapane :
    1. 1 O. Humuntal
    II.2. Marga Pomparan Ni Raja Sigalingging

    Dari data dan berbagai sumber yang diterima setelah adanya Sarasehan “Tarombo Marga Raja Sigalingging” yang dilaksanakan pada tanggal 20 s/d 22 Desember 2000 di Hotel Hermina T.D. Pardede, Parapat ada beberapa hal penting dan prinsipil yang harus diketahui bahwa Marga-marga dari keturunan Raja Sigalingging berjumlah 13 yaitu :


    Marga marga keturunan Raja sigalingging
    MARGA ASAL
    1 sigalingging Tapanuli Utara,Tobasa,Humbang
    2 Garingging simalungun
    3 Tendang Boang aceh
    4 Banurea Dairi
    5 Manik pakpak(Kecupak,Pengindar) Dairi
    6 Bringin Simerpa Dairi
    7 Gajah Manduamas(Tap.Teng),Parmonangan ,Pakkat, Dairi
    8 Brasa Sileang ,Parmonangan,Parlilitan
    9 Boangmanalu Dairi
    10 Bancin Dairi
    11 Saraan ?
    12 Kombih ?
    13 Brampu ?

    Note : Saraan, Kombih, Brampu merupakan cucu dari O. Banuarea tersebar di daerah Boang dan Keppas perbatasan Dairi dengan Aceh.