Diberdayakan oleh Blogger.
Mengenai Saya
Label
- Adat Karo (2)
- Download (3)
- Mandailing (5)
- Sejarah (12)
- Ulos (1)
Total Tayangan Halaman
Translate
Sabtu, 20 April 2013
“Sangkamadeha” Pohon Kehidupan Orang Batak
“Sangkamadeha” diartikan sebagai pengekspresian hidup dan kehidupan manusia dalam dunia nyata dengan segala kebanggaan dirinya.
“sangkamadeha” merupakan penggambaran pohon kehidupan pemberian sang pencipta (Mulajadi Nabolon) kepada manusia.
Sejak muda hingga tua, pohon ini tumbuh tegak lurus dan tajuknya “sundung” (menuju) langit.
Hidup di dunia dalam pertengahan usia adalah perkembangan sangat subur dan optimal, berkaya-nyata untuk dirinya dan orang lain.
Hasangapon, hagabeon dan hamoraon, adalah gambaran kesuburan yang dinikmati atas karunia sang khalik,
Biji berkecambah, tumbuh tunas, kemudian mekar. Dahan mengembang ke
samping dan ke segenap penjuru angin, bagaikan tangan-tangan membentang
(mandehai). Tumbuh makin matang (matoras) dan semakin kuat (pangko).
Dalam bahasa Batak, disebut ”torasna jadi pangkona”, diartikan
sebagai kedewasaan yang dibarengi kebiasaan-kebiasaan hidup yang menjadi
tabiat. Dalam kiasan (umpasa) Batak disebut “torasna jadi pangkona,
somalna jadi bangkona”.
Menjelang ujur, tajuk semakin tinggi dan tetap menuju ke atas. Di
masa tua, upaya pencapaian “sundung di langit” semakin terarah. Dari
sana awalnya datang, di sana juga berakhirnya. Inilah akhir hidup
manusia. Semua menuju ke penciptanya.
Perjalanan kehidupan manusia diakhiri, dan “sundung” ke alam
penciptaan. Semua yang diperoleh di alam nyata, dunia fana, akan
ditinggalkan.
Kebanggaan terpuji adalah tabiat yang baik dan benar, sesuai hukum dan adat istiadat. disebut sebagai “hasangapon”.
Cabang dan ranting yang banyak akan mempengaruhi kerimbunan
dedaunan. Akar yang kokoh dan kerimbunan daun (hatoropon) sebagai
gambarannya. Banyaknya populasi, disebut “hagabeon”.
Buah adalah biji disertai zat bermanfaat untuk pertumbuhan dan
stimulant kepada mahluk hidup untuk menyebarkannya. Ada buah, ada
pemanfaat dan ada pertumbuhan. Inilah yang disebut “hamoraon,
Parjuragatan, mengartikan tempat bergelantungan ke
sumber penghidupan. Sumber penghidupan ada beragam, seperti apa yang
diberikan secara langsung (material) dan tidak langsung
(non-material).Pemimpin adalah “parjuragatan”, di mana ditemukan
keadilan dan pencerahan.Dia adalah “urat” (akar) hukum dan keadilan.
Orang kaya (namora) adalah “parjuragatan”. Karena akar, memberi
kehidupan material, penyambung hidup.
Kekayaan dengan `banyaknya buah`, bila tidak ada manfaat bagi orang lain, tidak akan ada yang berperan `menaburnya`.
Dia akan seperti ilalang yang menebar biji oleh tiupan angin karena tidak ada memberi manfaat dari buahnya bagi mahluk lain.
Kekurangan harta disebut “napogos” (miskin). Bila hartanya hanya
cukup untuk bekal satu tahun disebut “parsaetaon” (pra sejahtera).
Bila sudah bisa menabung untuk cadangan pengembangan disebut
“naduma” (sejahtera). Bila harta sudah menumpuk disebut `paradongan”.
“Namora” adalah sebutan kehormatan untuk yang aktif menolong sesama
dengan harta bendanya sendiri. Jabatan ini, juga disandang dalam
“harajaon” yang diartikan sebagai bendahara.
Kepada Raja dan “namora” disebut akar dari hukum dan kehidupan.
- Raja urat ni uhum,
- Namora urat ni hosa,
Bila ada orang yang memiliki banyak harta, tapi tega membiarkan
manusia di sekitarnya kelaparan, dia tidak dapat disebut “namora”, tapi
“paradongan” atau “pararta.
Jika seseorang bermohon kepada Yang maha Kuasa “hamoraon”,
jabarannya adalah harta benda, berikut hati yang iklas untuk mau dan
mampu melakukan pertolongan kepada sesama manusia.
Ada yang membedakan “hau sangkamadeha” dengan hau parjuragatan dan hau sundung di langit.
Menurut penjelasan beberapa orang tua dan pandai mengukir (gorga),
bahwa penggambarannya adalah satu, tapi penjelasannya beragam.
Banyak yang memitoskan sebutan itu seperti pohon yang tumbuh di
alam penciptaan, sehingga banyak yang tidak memahami pemaknaan beberapa
perkataan itu dalam satu penggambaran.
Pada rumah “gorga” lama, gambaran “hau sangkamadeha” ini selalu
dilukiskan dalam dinding samping agak di depan. Dalam penggambarannya
kadang ada yang menyertakan gambar burung dan ular membelit.
Kayu yang berbuah selalu dihinggapi burung pemakan buah. Ular pun
datang ke pohon itu, untuk memangsa burung (marjuragat). Semua mahluk
berhak hidup, seperti manusia diberi hidup, menjadi bagian dari
ekosistem.
Namun, dari semua mahluk yang “marjuragat” dalam pohon hidup, hanya manusia yang memahami “sundung di langit”.
Ada pemahaman lain yang dijelaskan, bahwa dalam menjalani hidup harus cermat dan teliti karena banyak musuh yang mengintip.
Sejak pemahaman barat masuk ke batak, dan
mereka mengetahui penjelasan dari pohon (hau sangkamadeha), ada anjuran
untuk tidak membuat lukisan itu lagi dalam rumah adat Batak.Pemahaman
itu dianggap sesat. Sehingga, kemudian banyak rumah adat batak dibangun
tidak menggambarkannya lagi. Tapi, diganti dengan gambar orang barat
yang membawa hal baru, yang cenderung menyesatkan budaya batak.
Pemerhati budaya, Baginda Sahat Napitupulu,
tinggal di Malaysia, menilai, orang Batak zaman dulu, cukup genius.
Sebab, mereka mampu menggambarkan serta merumuskan tentang pohon
kehidupan.
“Banyak filosopi yang dapat dimaknai dari sangkamadeha yang
mengambarkan posisi kita sebagai orang batak. Apakah terkategori
`napogos`, `parsaetaon`, `naduma`, `paradongan` dan `namora/harajaon`,
“ujarnya.
Tapi, kata dia lagi, jika sudah jadi “namora”, jangan lupa membantu
orang di sekeliling. Sanak saudara yang masih butuh bantuan. Kalau
bisa, bantuannya jangan hanya dalam bentuk uang/materi. Melainkan,
kemudahan pendidikan dan pengembangan keahlian.
Martua Sidauruk, praktisi hukum dari Jakarta, menyampaikan idenya, untuk melakukan invetarisasi tentang nilai “habatahon” di bidang hukum.
Alasannya, dia contohkan dalam “hukum kontrak”. Hukum adat Batak, jauh lebih maju dan bersifat universal dari hukum nasional.
Antara lain, disebutkannya, semua praktisi hukum umumnya
mengetahui, hukum kontrak bersifat universal. Di dalamnya, terkandung
satu prinsip, janji lebih kuat daya ikatnya dari undang-undang.Tapi,
kata dia lagi, daya mengikatnya hanya berlaku bagi mereka yang membuat
perjanjian saja. Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.Dilanjutkannya, dalam hukum
adat batak, ada sebuah umpasa “Togu urat ni bulu, toguan urat ni padang.
Togu na nidok ni uhum, toguan na ni dok ni padan”.
Artinya, kata Martua, ikrar (padan) bagi orang batak, tidak hanya
berlaku bagi mereka yang membuat padan itu saja, tapi secara turun
temurun.
Makanya, sebut Martua, kita sering mendengar dan menemukan, adanya
pantangan atau tabu tertentu, serta ikatan tertentu bagi satu marga
dengan marga lain. Juga, sesama satu rumpun marga tertentu untuk berbuat
atau tidak berbuat sesuatu.
Bahkan, lanjutnya “pinompar” (keturunan) dari orang yang membuat
padan tersebut, hingga hari ini masih menghormati dan tidak berani
melanggar padan itu. Alasannya, antara lain, takut akibat pelanggaran
yang dilakukan.
Dalam hal ini, keistimewaan padan atau janji dari orang Batak bukan hanya bersifat legalistik, tetapi juga bersifat magis.
Bicara tentang budaya Batak dulu dan sekarang, cenderung diklaim sebagai kekeliruan (haliluon).
Sejatinya, kebebasan berpikir tanpa terikat satu doktrin, akan
menguraikan nilai budaya Batak secara total, semampunya berdasarkan
pemahaman yang utuh tanpa dilatari kepentingan golongan tertentu.
Dari beberapa sumber
Label:
Sejarah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar